Senin, 30 September 2013

Landasan-Landasan Pancasila

1. Landasan Ontologi Pancasila, menurut Aristoteles adalah ilmu yang menyelidiki hakikat sesuatu atau tentang ada, keberadaan atau eksistensi dan disamakan artinya dengan metafisika. Dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia, yang memiliki hakikat mutlak yaitu monopluralis, atau monodualis, karena itu juga disebut sebagai dasar antropologis. Subyek pendukung pokok dari sila-sila Pnacasila adalah manusia.

2. Landasan Epistemologis Pancasila adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal, syarat, susunan, metode, dan validalitas ilmu pengetahuan. Secara epistemologis kajian pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari hakikat pancasila sebagai suatu system pengetahuan. Epistemology meneliti sumber pengetahuan, proses dan syarat terjadinya pengetahuan, batas dan validitas ilmu pengetahuan.

3. Landasan Aksiologis Pancasila, sila-sila Pancasila sebagai suatu system filsafat memiliki stau kesatuan dasar aksiologis, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam pnacasila pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan. Aksiologis Pancasila mengandung arti bahwa kita membahas tentang filsafat nilai pancasila

Landasan Pancasila 1

1. Landasan Historis
Landasaan historis adalah landasan yang berdasarkan jalan cerita masa lampau atau sejarah.
Landasan hidup atau ideologi bangsa Indonesia tentunya memiliki kekhasan tersendiri dengan bangsa lain. Adapun ciri khas tersebut tentunya dari berbagai hal, diantaranya dari latarbelakang sejarah bangsa Indonesia itu sendiri. Demikian pula dengan Pancasila, Pancasila juga memiliki landasan historis tersendiri, adapun nilai-nilai Pancasila sudah terbentuk sejak dari zaman kerajaan dahulu, yang cukup besar dan terkenal ada dua kerajaan besar yaitu Sriwijaya, dan Majapahit.
Nilai-nilai pancasila pun masih terus ada pada bangsa Indonesia pada masa setelah kedua kerajaan besar tersebut. Diantaranya pada masa penjajahan dan perlawanan terhadap penjajah yang masih bersifat kedaerahan, masa kebangkitan nasional, sumpah pemuda, penjajahan jepang, pada masa persiapan kemerdekaan, sampai diresmikan sebai dasar negara Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Proses Perumusan Pancasila diawali dalam sidang BPUPKI I dr. Radjiman Widyadiningrat, tiga orang pembicara yaitu Muhammad Yamin, Soepomo dan Soekarno.
Tanggal 1 Juni 1945 Ir. Soekarno memberi nama Pancasila yang artinya 5 dasar pada pidatonya dan tanggal 17 Agustus 1945 memproklamasikan kemerdekaan, 18 Agustus dimana termuat isi rumusan 5 prinsip dasar negara yang diberi nama Pancasila, sejak itulah istilah Pancasila menjadi dasar negara Indonesia.
Adapun secara terminology histories proses perumusan Pancasila sbb :
a. Mr. Muhammad Yamin (29 Mei 1945).
- 5 Asas dasar negara Indonesia Merdeka :
1. Peri Kdbangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ketuhanan
4. Peri Kerakyatan
5. Kesejahteraan Rakyat.

- Rancangan UUD tersebut tercantum 5 asas dasar negara yang rumusannya :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kebangsaan Persatuan Indonesia
3. Rasa Kemanusiaan yang adil dan beradab
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

b. Ir. Soekarno (1 Juni 1945).
-5 asas dasar negara Indonesia :
1. Nasionalisme atau kebangsaan Indonesia
2. Internasional atau perikemanusiaan
3. Mufakat atau demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan yang berkebudayaan.

Selanjutnya kalau menyusulkan bahwa 5 sila tersebut dapat diperas menjadi “Tri Sila”
1. Sosio Nasional yaitu “Nasionalisme dan Internasionalisme.
2. Sosio Demokrasi yaitu “Demokrasi dengan kesejahteraan rakyat”
3. Ketuhanan YME
Dip eras lagi menjadi “Eka Sila” atau satu sila yang intinya adalah “gotong-royong”

c. Piagam Jakarta (22 Juni 1945)
Rumusan Pancasila :
1. Ketuhanan dengan kewajiban mdnjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Saya setuju dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara historis kehidupan bangsa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila, nilai-nilai yang terkandung dalam setiap Pancasila dirumuskan dan disahkan menjadi dasar negara secara objektif telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri

2. Landasan Kultural
Landasan kultural adalah landasan yang berdasarkan suatu kebisaan.
Pandangan hidup suatu bangsa tidak dapat dilepaskan dari kebiasaan dan kebudayaan bangsa tersebut bangsa tersebut. Karena pandangan hidup dapat dikatakan sebagai jatidiri dan kepribadian suatu bangsa.
Demikian pula halnya dengan Pancasila yang merupakan hasil pengolahan dari budaya bangsa yang dijadikan sebagai jati diri dan kepribadian bangsa Indonesia.
Pada kenyataannya pancasila sebagai cerminan dari jati diri dan kepribadian bangsa Indonesia tidaklah mudah dipertahankan.
Terdapat begitu banyak tantangan, diantaranya adalah era globalisasi yang membentuk sebuah kebudayaan global. Selain itu Pancasila juga berkembang dalam budaya masyarakat Indonesia dengan memiliki sifat keterbukaan sehingga dapat menyesuaikan diri terhadap perkembangan zaman.
Saya setuju dengan demikian generasi penerus bangsa dapat memperkaya nilai-nilai Pancasila sesuai dengan tingkat perkembangan dan tantangan zaman yang dihadapinya terutama dalam mengikuti perkembangan IPTEK tanpa harus kehilangan jati dirinya.

3. Landasan Yuridis
Landasaan yuridis adalah landsan yang berdasarkan atas aturan yang dibuat setelah melalui perundingan, permusyawarahan,
Landasan yuridis pancasila terdapat dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945, antara lain di dalamnya terdapat rumusan sila-sila Pancasila sebagai dasar negara yang sah, sebagai berikut:
• Ketuhanan Yang Maha Esa
• Kemanusiaan yang adil dan beradab
• Persatuan Indonesia
• Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
• Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Batang tubuh UUD 1945 pun merupakan landasan yuridis konstitusional karena dasar negara yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 dijabarkan lebih lanjut dan rinci dalam pasal-pasal dan ayat-ayat yang terdapat di dalam Batang Tubuh UUD 1945 tersebut
Saya setuju karena landasan yuridis tersebut meskipun bersifat sempurna namun setidaknya menjadi tolak ukur kita dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara.

4. Landasan Filosofis
Landsan filosofis adalah landasaan yang berdasarkan atas filsafat atau pandangan hidup.
Pancasila merupakan dasar filsafat negara. Dalam aspek penyelenggaraan negara harus bersumber pada nilai-nilai pancasila termasuk sistem perundang-perundangan. Pada zaman dahulu saat bangsa Indonesia belum mendirikan negara adalah sebagai bangsa yang hanya berketuhanan dan berkemanusiaan, hal ini berdasarkan bahwa manusia adalah makhluk Tuhan, dan pada masa kerajaan-kerajaan hindu pun adalah bangsa yang sudah menganut kepercayaan terhadap Tuhan YME.
Saya setuju nilai-nilai yang tertuang dalam rumusan sila-sila Pancasila merupakan filosofi bangsa Indonesia yang telah tumbuh, hidup dan berkembang jauh sebelum berdirinya negara Republik Indonesia. Oleh karena itu Pancasila menjadi kewajiban moral seluruh bangsa Indonesia untuk mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari baik kehidupan bermasyarakat maupun kehidupan berbangsa dan bernegara.

PENGARUH LINGKUNGAN TERHADAP PERKEMBANGAN PSIKOLOGI ANAK ASTRA atau NYAME CERIKAN



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
      Manusia adalah makhluk yang tertinggi ciptaan Tuhan Yang Maha Esa karena memiliki pikiran untuk dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Dengan dibekali pikiran maka dalam kehidupannya manusia harus mampu mewujudkan hidup yang lebih baik dari pada sebelumnya. Untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik, maka manusia tidak boleh punah. Oleh karena itu, untuk terus dapat menjaga kelangsungan hidupnya maka manusia haruslah memiliki keturunan. Agar memperoleh keturunan, seseorang diharuskan untuk menikah. Karena dengan pernikahan akan memperoleh keturunan yang baik yang akan menolong orang tua dari penderitaan, hal ini dalam Agama Hindu disebut dengan anak Suputra.
      Sebagai umat Hindu tentu kita sudah tidak asing lagi mendengar istilah Anak Suputra, namun pernahkah kalian mendengar atau mungkin mengetahui tentang adanya anak Astra. Mungkin di benak anda timbul berbagai macam pertanyaan tentang adanya pernyataan tentang anak Astra. Bagaimana dan mengapa seseorang bisa disebut Astra.
      Asal mula Astra ini tidak dapat di pisahkan dari Wangsa, pada zaman dahulu seseorang yang memiliki gelar atau wangsa adalah orang-orang yang sangat di hormati, di puja, segala tindak tanduknya di benarkan meskipun dalam banyak hal mereka terkadang memanfaatkan untuk memperoleh keuntungan sendiri. Wangsa adalah salah satu cara untuk mempertahankan derajat dan martabat dalam suatu keluarga yang merupakan staus quo yang diwariskan secara turun temurun.
      Tidak dapat kita pungkiri bahwa di zaman dahulu derajat seseorang di ukur berdasarkan dari wangsanya (kasta). Dan para perempuan di zaman itu tidaklah di hargai seperti sekarang ini. Tidak ada yang namanya kesetaraan gender. Laki-laki yang memiliki kasta boleh hidup bersama dengan para perempuan dari golongan rendah tanpa adanya upacara pernikahan yang sah. Dari hubungan ini maka perempuan akan hamil dan anak dalam kandungan perempuan itu di sebut Anak Astra.
      Astra berasal dari kata, Aas yang artinya bunga jatuh atau juga putus. Sedangkan Tra berasal dari kata tereh/trah yang memiliki arti keturunan. Jadi Astra memiliki pengertian bahwa keturunan yang gugur untuk menyandang predikat wangsa. Sedangkan apabila dia anak tersebut lahir tidak dari keluarga Wangsa, maka anak itu disebut dengan nama Nyame cerikan. (artha, 2003 : 6)
      Sebagai seorang manusia anak Astra dalam hidupnya mengalami berbagai macam tahapan. Tahapan-tahapan itu akan membuat anak tersebut menjadi pribadi yang matang. Untuk dapat mengetahui sejauh mana perkembangan pribadi anak tersebut maka dapat kita lakukan melalui pendekatan Psikologi Agama. Mengapa penulis menggunakan Psikologi Agama? Karena sebutan anak Astra hanya digunakan oleh umat Hindu.
      Sebelum masuk lebih jauh, ada baiknya kita mengetahui apa yang dimaksud dengan Psikologi Agama. Psikologi Agama terbagi atas dua kata yaitu “Psikologi” dan “Agama”. Kata Psikologi secara umum memiliki arti suatu ilmu yang mempelajari tentang tingkah laku dan pengalaman manusia, yang tujuan utamanya adalah mengungkapkan faktor-faktor yang berpengaruh pada prilaku manusia. Sedangkan Agama memegang peran penting dalam kehidupan manusia. Agama adalah kepercayaan kepada Tuhan serta segala sesuatu yang terkait dengan anjuran-Nya sehingga dapat memberikan rasa aman dan memiliki ketetapan hati dalam menghadapi hidup. Jadi Psikologi Agama adalah cabang psikologi yang menyelidiki sebab-sebab dan ciri psikologi dan sikap-sikap yang religius atau perjalanan religius dan berbagai fenomena dalam individu yang muncul dari atau menyertai sikap dan pengalaman. (Suasthi & Suastawa, 2008 :3)
1.2  Rumusan Masalah
Dari pemaparan diatas maka penulis dapat mengangkat sebuah permasalahan sebagai berikut :
1.2.1  Apakah ada pengaruhnya lingkungan terhadap perkembang psikologi                      dari seorang anak Astra?
1.3  Tujuan Penulisan
      Segala sesuatu yang terdapt di dunia ini tentunya memiliki tujuan masing-masing dari sang pencipta. Begitu pula dengan makalah ini, yang memiliki tujuan agar para pembaca mengetahui pengaruh lingkungan yang seperti apa yang mempengaruhi perkembangan psikologi seorang anak Astra dalam kehidupannya.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Lahirnya Anak Astra atau Nyame Cerikan di Masyarakat
     Seperti yang dijelaskan di atas bahwa pada zaman dahulu menyandang predikat Astra merupakan sesuatu yang benar-benar memalukan atau sangatlah hina. Apalagi masyarakat pada saat itu tidaklah terlalu mementingkan pendidikan sehingga mereka tidak ada yang memberikan dukungan pada sang Anak Astra tetapi malahan semakin mengucilkan.
Ada beberapa hal yang menjadi penyebab seorang anak dapat dikatakan sebagai anak astra, sebab-sebab itu antara lain :
a.      Lahir tanpa upacara perkawinan
     Perkawinan merupakan sesuatu yang sakral oleh karena itu semua orang berharap menikah sekali seumur hidup kemudian sampai akhir hayat bersama orang yang disayangi. Perkawinan tidak hanya untuk seorang laki-laki dan perempuan, tetapi merupakan penyatuan dua buah keluarga besar. Restu dari keluarga merupakan hal yang sangat penting. Begitu pula dalam hal ini, restu keluarga besar dari penyandang predikat wangsa sangat penting boleh tidaknya perempuan itu dijadikan istri apalagi sang perempuan tidak memiliki kasta, tidak memiliki rumah atau sanak saudara. Tetapi mereka di perbolehkan tinggal serumah hingga memiliki anak hingga 2 atau 3. Lambat laun hal ini menjadi perhatian keluarga hingga akhirnya mereka di nikahkan dengan ritual keagamaan. Jika ada anak yang lahir setelah itu maka anak tersebut akan menyandang nama wangsa bapaknya, sementara kakak-kakanya tidak.
b.      Diduga Hamil Duluan Saat Upacara Perkawinan
     Penyebab anak yang lahir diberi predikat Astra adalah apabila seorang anak yang lahir secara normal dari rahim ibunya belum genap hitungan sembilan bulan sejak hari pernikahan. Meski telah di upacarakan secara adat-istiadat namun tidak boleh menyandang predikat wangsa.
     Kalau kalangan Wangsa melahirkan Astra, di kalangan umat Hindu yang bukan menyandang Wangsa-pun banyak mempunyai keturunan yang bukan melalui proses adat, tradisi dan budaya. Dan para keturunannya di beri predikat Nyame Cerikan. Sementara anak dari orang tuanya yang lahir dari proses adatistiadat di sebut Nyame Tigehan atau Nyame Kelihan.
Apabila si-Nyame Cerikan meninggal dunia, maka semua anggota masyarakat yang tergolong Nyame Tigehan tidak akan memikul mayatnya. Tetapi apabila si-Nyame Tigehan meninggal dunia, adalah merupakan kewajiban bagi si-Nyame Cerikan  untuk memikul mayatnya, (Hindu-Lombok). (Artha , 2003 : 7)
2.2 Pengaruh Lingkungan Terhadap Psikologi Anak Astra atau Nyame                                               Cerikan
     Penjelasan diatas menunjukkan bahwa segala sesuatu di timpakan pada anak Astra atau Nyame Cerikan, padahal jika kita tanyakan pada mereka tentunya mereka juga tak ingin di lahirkan seperti itu.
     Astra tidak selamanya berarti buruk. Hal ini sangat berkaitan dengan siapa penyandang predikat itu ketimbang, predikat apa yang disandangnya. Menyandang predikat Astra atau Nyame Cerikan sesungguhnya bukan masalah, justru yang menjadi masalah adalah orang-orang yang mempermasahkannya.
     Bukankah di Hindu kita di ajarkan tentang Tat Twam Asi yang memiliki arti Kau adalah Aku. Lalu dimanakah implementasi dari Tat Twam Asi dalam persoalan Anak Astra atau Nyame Cerikan ini?
     Implementasinya tentu saja ada hanya saja orang-orang lebih banyak yang serakah yang lebih mengedepankan ego atau rasa ke-Aku-an mereka sendiri. Sehingga hal ini terus menerus berlangsung, dan yang lebih menyedihkan lagi mereka berbuat seolah-olah bahwa hal ini memang telah tertulis dalam Sastra Suci Hindu.
     Padahal hal tersebut tidak pernah sama sekali tertuang dalam Sastra Suci Hindu manapun. Itu hanya di kembangkan bagi orang-orang yang ingin mempertahankan Status Quo.
     Oleh sebab itu adalah merupakan kewajiban umat sedharma terlebih lagi bagi kita yang merupakan ujung tombak generasi penerus Hindu untuk sekuat tenaga berupaya meluruskan hal-hal yang bengkok dan menempatkan segala sesuatu pada porsinya yang benar sesuai dengan ajaran Kitab Suci. Merubah tradisi-tradisi yang tidak manusiawiyang bertentangan dengan hakekat dharma itu sendiri yang sudah tidak cocok pada saat ini. Bukankah Hindu merupakan Agama Universal yang sangat fleksibel. Mengikuti perkembangan masa, dimana ada tradisi atau kegiatan yang tidak bersumber pada Weda bisa di tinggalkan karena semua itu sama sekali tidak mendatangkan berkah. Hal ini tertuang dalam Manawa Dharma Sastra XII.95 yang berbunyi :
“Semua tradisi dan sistem filsafat yang tidak bersumber pada Weda tidak akan memberi pahala kelak sesudah mati karena dirinya bersumber pada kegelapan”.
     Berkaca pada sastra tersebut, maka kita harus lebih membuka diri menerima berbagai hal baru tanpa langsung meletakkan predikat negatif pada hal tersebut. Di masyarakat yang multi dimensional / majemuk perbedaan antara wangsa dengan astra benar-benar nyaris tidak pernah terdengar. Namun apabila sebuah persoalan walau sekecil apapun apabila dibesar-besarkan jelas akan menjadi besar. Nama besar yang disandang orangpun menjadi besar, karena orang lain yang membesar-besarkan. Sehingga orang itu menyandang nama besar. Hal ini tertuang jelas dalam Mahabharata Anusasana Parwa 104, 105 yang berbunyi :
”Tidak menghina orang lain, tidak mengeluarkan kata-kata yang tidak menyenangkan orang lain, tidak marah dengan orang lain dan dengan kelakuan seperti itu orang-orang bisa memperoleh kemajuan spritual”.
     Meskipun dikalangan keluarga kehadiran Anak Astra atau Nyame Cerikan di anak tirikan, namun dikalangan masyarakat pada umumnya mereka tetap diterima dengan baik dan terbuka. Tidak jarang mereka juga sering didudukan ditengah-tengah masyarakat pada waktu musyarawah di laksanakan serta saran yang mereka berikan memang sesuai dengan kebutuhan.
     Dalam jajaran pemerintah pun banyak diantara mereka yang memiliki posisi yang bagus, hal ini disebabkan karena mereka cerdas, bertanggung jawab, berwawasan luas, dan tentunya bijaksana.
     Pernahkan kalian mendengar cerita tentang tokoh-tokoh penting dari zaman Mahabharata yang memiliki kecerdasan dan kebijaksanaan yang sangat luar biasa. Tapi apakah kalian tahu kalau diantara mereka terdapat beberapa Anak  
a)      Bharata merupakan leluhur dari Pandawa dan Kaurawa, beliau adalah anak dari Raja Dusmanta dengan Dewi Sakuntala. Dewi Sakuntala adalah anak dari Bhagawan Kanwa. Pernikahan antara Prabu Dusmanta dan Dewi Sakuntala tanpa di hadiri oleh pendeta sebagai sanksinya.
b)      Kemudian, di Kerajaan Hastinapura ada tiga orang pangeran. Putra tertua bernama Dristarastra, saudara kedua bernama Pandu, dan anak yang terkecil bernama Widura. Di antara ketiga orang itu, Widuralah yang paling bijaksana serta beliaulah yang berpegang teguh pada hukum tata negara. Dia adalah Anak Astra karena lahir dari ramih seorang pelayan, tetapi meskipun demikian dia selalu memegah teguh kebenaran karena memiliki dan memahami tentang pengetahuan suci.
c)      Pada masa perang Bharatayuda tentu kita tidak akan pernah lupa tentang keberanian seorang panglima perang yang gagah yang bernama Karna. Karna adalah orang yang memegah teguh kata-katanya, dia melaksanakan sikap Satya Mitra yang memiliki arti selalu setia terhadap sahabat meskipun harus mengorbankan nyawa. Karna menjadi raja di Kerajaan Anga, dan dia merupakan raja yang sangat rendah hati memberikan apapun yang dia miliki kepada siapapun yang meminta. Segala perkataannya selalu dia tepati dalam Hindu ini disebut Satya Wacana. Tapi tahukan kalian bahwa Karna lahir tanpa seorang ayah.
     Demikianlah beberapa orang yang di katakan Sebagai Anak Astra dengan prestasi yang sangat luar biasa, nama mereka dicatat dalam sejarah dan selalu dikenang hingga sekarang.













BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
     Antara Wangsa dan Astra tidak dapat dipisahkan, karena tanpa Wangsa maka tidak akan pernah ada Astra. Seperti apa yang telah alam gariskan bahwa tidak ada sebab yang tanpa akibat. Selain itu Hindu juga mengenal Karmapala yang berarti hasil dari perbuatan yang kita lakukan. Sebagai manusia tentu kita sering melakukan kesalahan. Namun bukan berarti kita tidak mampu memperbaikinya, kesalahan adalah langkah awal yang perlu kita benahi menuju kebenaran.
     Hindu merupakan agama yang universal serta fleksibel yang mampu menyesuaikan diri dengan keadaan serta kondisi lingkungan tempat para penganutnya tinggal. Karena hal itulah Hindu sebagai agama tertua di dunia tetap eksis hingga sekarang.
     Tujuan utama Agama Hindu adalah “Moksartam Jagadhita Ya Ca Iti Dharma”. Untuk mencapai hal itu maka kita memerlukan ketenangan hati dan kedamaian. Tidak ada saling merendahkan sesama makhluk.
     Seperti halnya Anak Astra, jangan memberi mereka predikat buruk hanya karena kelakuan kedua orang tua mereka. Tapi marilah kita membuka mata lebar-lebar untuk menghargai mereka sebagai sesama manusia, dan contohlah segala perilaku mereka yang baik. Ikutilah prestasi-prestasi gemilang mereka, serta sikap bijaksana mereka dalam menjalani hidup. Harus kita ingat bahwa dihadapan Tuhan kita sama, yang membedakan hanya Karma Wasana  kita.

SAD DARSANA (Filsafat Nyaya dan Mimamsa)

PENDAHULUAN
Ilmu Filsafat adalah sebuah ilmu yang mempelajari bagaimana caranya mengungkapkan nilai-nilai kebenaran hakiki yang dijadikan landasan untuk hidup yang dicita-citakan. Demikian halnya ilmu filsafat yang ada di dalam ajaran Hindu yang juga disebut dengan Darsana, semuanya berusaha untuk mengungkapkan tentang nilai-nilai kebenaran dengan bersumber pada kitab suci Veda.
Sistem filsafat india terdiri dari dua golongan, yaitu: golongan astika (ortodoks) dan dolongan nastika (heterodoks). Yang termasuk golongan astika ialah golongan yang mengakui kedaulatan weda, sedangkan golongan nastika ialah golongan yang tidak mengakui kedaulatan weda. Adapun yang termasuk golongan astika diantaranya yaitu: nyaya, waisesika, sankhya, yoga, purwa mimamsa, dan uttara mimamsa atau wedanta. Golongan yang termasuk dalam Nastika yaitu: Carvakas, Buddhis, Jaina. Pada topik kali ini akan dibahas mengenai dua dari kelompok astika yaitu, Nyaya dan Mimamsa.
PEMBAHASAN
1.      Nyaya
Nyaya artinya suatu penelitian yang analitis dan kritis. Oleh karena itu sistem Nyaya membicarakan bagian umum filsafat dan metode untuk mengadakan penelitian yang kritis.[1]
Sistem Nyaya muncul akibat adanya perdebatan diantara para ahli pikir dalam usaha mereka mencari kebenaran dari ayat-ayat Weda untuk dijadikan landasan melaksanakan upacara-upacara korban. Dari hal itu timbullah kemudian patokan-patokan bagaimana mengadakan penelitian yang benar dan logis. Atas dasar ini maka Nyaya disebut juga Tarkawada yaitu ilmu berdebat.[2] Atau Vadavidya yaitu pengetahuan tentang diskusi.[3]
Pendiri ajaran ini adalah Mahersi Gautama (Gotami), hidup pada abad ke 4 SM yang mana hasil karya tersebut disebut dengan Nyayasutra yang terdiri atas lima Adhayana (bab) dan dibagi ke dalam lima “pada” atau bagian.[4] Dikatakan pula bahwa  ajaran filsafat Nyaya disebut realistis karena mengakui benda-benda sebagai suatu kenyataan. Ajaran yang realistik ini mendasarkannya pada ilmu logika, sistematis, kronologis dan analitis.[5]
Nyaya memiliki tipe filsafat yang analitis serta menjunjung tinggi akal sehat dan sains. Ciri khas sistem Nyaya adalah penggunaan metode sains, yakni pemeriksaan logis dan kritis. Dalam studi klasik tentang Hinduisme, terdapat lima subjek yakni: sastra (kavya), drama (namaka), retorika (alamkara), logika (tarka) dan tata bahasa (vyakarana). Studi apapun yang kemudian akan diambil oleh si pelajar, ia harus mengambil studi awal tentang logika yang merupakan dasar bagi semua studi lainnya. Setiap sistem filsafat Hindu menerima prinsip dasar logika Nyaya. Jadi sistem Nyaya berfungsi sebagai sebuah pengantar bagi semua filsafat sistematis.
Dalam arti sempit Nyaya berarti penalaran silogistis. Sedangkan dalam arti lebih luas, Nyaya berarti pemeriksaan objek melalui bukti-bukti. Karenanya Nyaya menjadi sebuah sains pembuktian atau pengetahuan yang benar (Pramanashastra). Semua pengetahuan mengimplikasikan empat kondisi: subjek pengenal (pramatr), objek (prameya), kondisi hasil dari pengenalan (pramiti), samrana pengetahuan (pramana). Hakikat pengetahuan, sah atau tidak sahnya tergantung pada unsur ke-empat yaitu pramana. Setiap tindakan kognitif (sah atau tidak sah) melibatkan tiga unsur, yakni: subjek pengenal, isi atau apa yang disadari oleh subjek, dan hubungan antara keduanya, yang dapat dibedakan walaupun tidak dapat dipisahkan. Mimamsa bukan hanya merupakan logika formal semata, tapi juga sebuah epistimologi penuh yang menggabunglkan diskusi tentang psikologi dan logika, metafisika dan teologi.[6]
Sistem Nyaya telah ada sebelum Masehi, tetapi susunan ajarannya yang sistematis terdapat kurang lebih tahun 150 SM. Dilihat dari sejarahnya ada dua mazhab, yaitu Nyaya kuno dan Nyaya baru. Nyaya kuno mengutarakan logika. Sedangkan Nyaya baru membicarakan teori ilmu pengetahuan. Kitab suci utamanya adalah Nyayasutra. ayat pembukaan dari Nyayasutra mengatakan bahwa kebahagiaan mutlak dapat diperoleh dengan pengetahuan mengenai kodrat sejati dari 16 kategori, yakni:
No.
No.
1.
Pramana (Pengetahuan yang benar)
9.
Nirnaya (Pengetahuan tentang kebenaran penentuan)
2.
Prameya (objek pengetahuan)
10.
Vada (Diskusi)
3.
Samsaya (bimbingan)
11.
Jalpa (Perdebatan atau perselisihan)
4.
Prayojana (Maksud)
12.
Vitanda (Pertengkaran tentang hal-hal yang kecil)
5.
Distanta (Contoh yang dikenali)
13.
Hetvabhasa (Buah pikiran yang tidak benar)
6.
Siddhanta (Prinsip ajaran yang tetap)
14.
Chala (Pemutaran Lidah)
7.
Avavava (Anggota-anggota imu logika)
15.
Jati (Tujuan yang sia-sia)
8.
Tatka (Pembantahan)
16.
Nigrasthana (Perselisihan tentang prinsip)


       Ke- 16 topik tersebut dapat digunakan untuk menggali kebenaran. Topik 1-9 berurusan dengan logika, topik 10-16 berfungsi mencegah atau menghapuskan perbuatan kesalahan.[7]
       Nyaya berpangkal pada keyakinan bahwa dunia di luar kita itu berdiri sendiri, lepas daripada pikiran kita. Kita dapat mempunyai pengetahuan tentang dunia  luar kita itu, yaitu dengan perantaraan pikiran kita. Dalam usahanya untuk mengetahui dunia di luarnya, pikiran dibantu (melalui perantara) oleh indera kita. Karena pendirian yang demikian ini maka sistim Nyaya dapat disebut sistim yang realistis. Apakah pengetahuan kita berlaku (benar) atau tidak, hal itu tergantung dari alat-alat yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan tadi. Alat-alat yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan disebut pramana, sedang pengetahuan yang berlaku atau yang benar prama.[8]
Dalam Nyaya ada empat alat atau cara untuk mencari atau mendapatkan pengetahuan yang benar, diantaranya ialah:
1.      Pratyaksa ialah pengamatan langsung melalui panca indera [9]
Alat yang dipakai untuk mengamati sesuatu dibedakan menjadi dua yaitu:
a.       Pengamatan melalui panca indera
b.      Pengamatan yang bersifat transenden atau yang luar biasa
Contoh: seorang Yogi dapat mengetahui sesuatu yang tidak dapat diamati oleh indera orang biasa. Ini disebabkan karena seorang Yogi dapat berhadapan dengan sasaran yang mengatasi indra manusia. Kekuatan seperti itu dimiliknya karena mempunyai menguasai dan menghubungkan prana pada dirinya dengan prana pada makrokosmos.
Disamping alat untuk mengamati, maka proses pengamatan itu dibedakan pula menjadi dua yaitu:
a.       Nirwikalpa yaitu pengamatan yang tidak ditentukan.
Contoh: kita dapat mengamati sesuatu tanpa mengetahui volume, berat, warna dan jenis dari obyek yang diamati.
b.      Sawikalpa yaitu pengamatan yang ditentukan atau dibeda-bedakan.
Contoh: kita mengamati suatu obyek yang menjadikan kita tahu dan mengerti secara betul tentang sasaran (obyek) yang diamati, baik ukurannya, sifatnya, maupun jenisnya. Dengan demikian melalui sawikalpa memungkinkan kita mendapatkan pengetahuan yang benar. Pengetahuan itu dikatakan benar bila keterangan atau sifat yang deinyatakan cocok dengan obyek yang diamati.
Disamping pengamatan terhadap obyek yang nyata maka Nyaya juga mengajarkan bahwa obyek yang tidak ada maupun yang tidak nyata juga dapat diamati.
Contoh: adanya daun yang tidak berwarna hijau, sedangkan umumnya daun berwarna hijau. Jika kita mengamati daun yang tidak berwarna hijau maka kita akan melihat tidak adanya warna hijau.
  Jadi ketidakadaan warna hijau dapat kita amati melalui daun tadi. Ini menunjukkan bahwa tidak ada pun dapat diamati pula.[10]
  Dalam buku Harsa Swabodhi manyatakan bahwa Pratyaksa Pramana itu mengadakan penglihatan atau pengamatan langsung untuk mendapatkan pengetahuan tentang sesuatu (benda/hal):
a. Pengamatan perasaan                      c. Kesadaran diri sendiri
b. Pengamatan jiwa                             d. Intuisi. [11]
2. Anumana ialah pengetahuan yang diperoleh dari suatu objek dengan menarik pengertian dari tanda-tanda yang diperoleh[12]
       Ini merupakan ajaran terpenting diantara empat cara yang diajarkan oleh Nyaya. Pengetahuan yang didapat secara silogisme merupakan sesuatu yang terdapat diantara pengamat dengan obyek yang diamati.
Contoh:
Ø  Di tempat yang jauh dari kita dapat melihat ada asap mengepul, maka dapat kita simpulkan bahwa sebelum asap itu tentu ada sesuatu yang terbakar oleh api. Atau dengan asap kita tahu bahwa di sana juga ada api, karena asap dan api memiliki hubungan yang tidak terpisahkan.
Ø  Secara nyata kita tidak dapat melihat udara maupun oksigen (O2) yang tak dapat dipisahkan dengan kehidupan. Bila kemudian kita melihat makhluk dapat hidup di dalam air seperti tumbuh-tumbuhan atau plankton, maka kita dapat simpulkan bahwa di dalam air itu tentu ada udara atau O2.
             Mendapatkan pengetahuan melalui silogisme tidak dapat dilakukan tanpa bantuan pengetahuan yang lain. Misalnya seperti contoh dia atas, “asap tidak terpisahkan dengan api; hidup tak terpisahkan dengan O². Karena penyimpulan tanpa bantuan pengetahuan lain akan menjadikan pengetahuan yang salah.
Dalam Anumana pramana paling sedikit harus ada tiga syarat, yaitu:
a.       Paksa: Suatu kesimpulan yang ditarik.
b.      Sadhya: objek yang ditarik kesimpulannya.
c.       Lingga: Tnda dan benda yang tidak dapat dipisahkan dengan kesimpulannya termasuk pengetahuan pembantu.[13]
Ada empat saran yang digunakan dalam Anumana, yaitu:
a.  Purvavat, yakni kesimpulan dari sebab kepada akibat, meliputi sebab-sebab materi, formil, dan instrumental.
b. Samanyata, yakni sebab dari alasan-alasan yang masuk akal pada prinsip-prinsip yang abstrak sifatnya.
c. Sevavat, yakni kesimpulan dari suatu sebab yang terdiri atas 5 bagian, yaitu:
1.    Prajijna (dalil), misalnya terdapat api di gunung,
2.    Hetu (sebab), sebab di gunung ada asap
3.    Upanaya, penggunaan atau aplikasi dari logika itu
4.    Nigamana, kesimpulan.[14]
3.      Upamana ialah ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui perbandingan[15]
               Contoh: seseorang yang tidak tahu dengan binatang singa. Dari seorang zoolog dia mendapatkan keterangan bahwa singa itu bentuknya menyerupai anjing, namun muka dan kepalanya kelihatan lebih garang. Pada suatu ketika orang yang mendapat keterangan tentang nama (sebutan) singa itu berjumpa dengan binatang serupa anjing di kebun binatang. Maka dia dapat membandingkan keterangna yang dia terima dengan membandingkan keterangan yang dia terima dengan binatang yang dilihatnya serta dapat meyakini bahwa binatang tersebut adalah singa.[16]
Contoh: Meja dan bangku dibuat oleh Tukang kayu, adanya meja dan bangku disebabkan adanya tukang kayu. Alam semesta ada, tentu ada yang mengadakannya, yaitu Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa.[17]
4.      Sabda ialah ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan mendengarkan atau melalui penjelasan dari sumber-sumber yang patut dipercaya (kesaksian)[18].
Sabda pramana dapat dibedakan atas dua hal yaitu:
a.       Kesaksian yang diberikan oleh orang yang dapat dipercaya karena keluhuran dan ketinggian budinya, yang dinyatakan di dalam kata-katanya yang disebut pula laukita.
b.      Kesaksian atau kebenaran weda (waidika). Nyaya memandang dan meyakini bahwa weda merupakan wahyu Tuhan, maka kesaksian kitab weda dipandang sebagai kesaksian yang sempurna serta tidak dapat dibantah kebenarannya (weda merupakan kebenaran yang mutlak)[19]
Dalam sumber lain, Penulis juga menemukan hierarki mengenai catur pramana, sebagai berikut:[20]
Catur Pramana
|
terdiri dari
|
———————————————————————————————
|
|
|
|

|
|
|
|
dengan persepsi berupa
Menggunakan
dapat berupa
dari sumber
|
|
|
|
——————–
————
————————
————–
|
|
|
|
|
|
|
|

Laukika

Alaukika
 

Silogisme


Analogi
 

Model
 

Simbol
 

Laukika


Wahyu
 















A.    Tuhan dalam filsafat Nyaya
     Karena Nyaya meyakini kebenaran weda, maka penganut Nyaya (Naiyayika) percaya akan adanya Tuhan dan Tuhan disamakan dengan siwa.[21]
     Menurut Nyaya Tuhan adalah penyebab tertinggi penciptaan, pemeliharaan, dan peleburan dunia. Ia tidak menciptakan dunia dari ketiadaan, tetapi dari atom-atom eternal; ruang, waktu, ether, pikiran, jiwa-jiwa. Penciptaan dunia berarti penataan entitas-entitas eternal yang koeksis dengan Tuhan menjadi dua motral, dimana roh-roh individu menikmati dan menderita menurut perbuatan baik dan perbuatan buruk, dan semua benda fisik melayani sebagai sarana tujuan moral dan spiritual kehidupan kita, Tuhan dengan demikian adalah pencipta dunia dan bukan penyebab materialnya. Ia juga sebagai pemelihara dunia sepanjang dunia dijaga dalam eksistensi oleh keinginan Tuhan. Ia juga sebagai pelebur yang mengijinkan kekuatan destruksi beroperasi ketika tatanan dunia moral menghendakinya kemudian Tuhan satu tak terbatas dan eternal karena dunia ruang dan waktu, pikiran dan jiwa-jiwa tidak membatasinya tetapi ia dihubungkan dengan Dia. Sebagai tubuh dan roh yang bersemayam didalamnya ia maha kuasa walaupun ia dipandu didalam aktifitas perbuatan buruk. Ia maha tahu sepanjang ia mempunyai pengetahuan benar tentang semua benda dan peristiwa. Ia mempunyai kesadaran eternal sebagai kekuatan kognisi langsung dan teguh semua objek. Kesadaran eternal hanyalah atribut Tuhan yang tidak dapat dipisahkan, bukan esensinya seperti dianut oleh Vedanta. Ia memiliki kesempurnaan (sadisvarya) dan magis, maha agung, megah, indah, tak terbatas, mempunyai pengetahuan tak terbatas dan kebebasan dan sempurna dari kemelekatan.
     Tuhan sebagai penyebab efisien dunia, demikian juga Tuhan merupakan penyebab direktif tindakan-tindakan semua makhluk hidup di dunia ini yang bebas dari kerja, ia secara relatif bebas, yaitu tindakan-tindakan yang dilakukan oleh dia dibawah direksi dan arahan Tuhan. Seperti halnya dengan seorang ayah yang arif dan pemurah mengarahkan anak-anaknya mengerjakan suatu aktifitas, menurut hadiah-hadiah, kapasitas, dan pencapaiannya sebelumnya. Jadi demikian juga Tuhan mengarahkan semua makhluk hidup melakukan tindakan-tindakan. Sementara manusia adalah penyebab instrumental efisien (prayojaga karta). Jadi Tuhan adalah pengatur moral dunia beserta semua makhluk hidup, sementara buah-buah perbuatan dan yang tertinggi dari kenikmatan dan penderitaan kita.[22]
     Untuk membuktikan adanya Tuhan Nyaya mengemukakan dua macam pembuktian tentang Tuhan yaitu:
Bukti Kosmologi
     Pembuktian ini menyatakan bahwa dunia ini adalah akibat dari suatu sebab. Oleh karena itu tentu ada sebab yang pertama dan utama. Sebab itulah Tuhan. Tidak ada sebab pertama kecuali Tuhan karena segala sesuatu yang diketahui oleh manusia memiliki kemampuan yang terbatas selain Tuhan. Tidak ada sesuatu  sebagai penciptanya sendiri kecuali Tuhan.
Pembuktian Teleologis
     Pembuktian ini menyatakan bahwa di dunia ini ada suatu tata tertib dan aturan tertentu sehingga dunia ini menampakkan suatu rencana yang berdasarkan pemikiran dan tujuan tertentu. Tentu ada yang mengadakan rencana dan tujuan tersebut. Yang mengadakan itulah Tuhan.
     Tuhan disebut juga Paratman karena Tuhan termasuk golongan jiwa tertinggi yang yang bersifat kekal abadi, berada di mana-mana, memenuhi alam dan merupakan kesadaran agung. Tuhan sebagai penggerak pertama dan utama dari atom-atom yang menjadikan benda-benda di alam ini. Tuhan menciptakan, merawat, melebur alam dan segala isinya dengan pengaruh karma dari alam dan isinya. Tuhan pula menjadi pengatur dan mengodratkan hukum pada alam semesta sehingga berlakunya hukum alam (rta) yang mengatur alam dengan segala isinya secara teratur dan harmonis. Dalam kekuasaan inilah makhluk hidup menikmati suka duka dalam usaha menuju kelepasan.
     Penciptaan alam ini adalah untuk kebahagiaan semua makhluk. Dunia yang diciptakan ini lengkap dengan derita dan kebahagiaan dalam bentuk yang beraneka ragam. Dapat atau tidaknya makhluk menikmati kebahagiaan di dunia ini sangat tergantung dari benar tidaknya pengetahuan yang dimiliki oleh makhluk itu untuk melandasi hidupnya.[23]
B.  Alam dalam filsafat Nyaya
     Dalam kitab Regweda terdapat nyanyian yang mengisahkan asal mula alam semesta. Nyanyian tersebut disebut Nasadiyasukta dan terdiri dari tujuh bait sebagai berikut:
Pada mulanya tidak ada sesuatu yang ada namun tidak ada sesuatu yang tidak ada. Tidak ada udara, tidak ada langit pula. Apakah yang menutupi itu, dan mana itu? Airkah di sana? Air yang tak terduga dalamnya?
Waktu itu tidak ada kematian, tidak pula ada kehidupan. Tidak ada yang menandakan siang dan malam. Yang Esa bernapas tanpa napas menurut kekuatannya sendiri. Di luar daripada Ia tidak ada apapun.
Pada mulanya kegelapan ditutupi oleh kegelapan itu sendiri. Semua yang ada ini adalah sesuatu yang tak terbatas dan tak dapat dibedakan, yang ada pada waktu itu adalah kekosongan dan yang tanpa bentuk. Dengan tenaga panas yang luar biasa lahirlah kesatuan yang kosong.
Pada mulanya kegelapan ditutupi oleh kegelapan itu sendiri. Semua yang ada ini adalah sesuatu yang tak terbatas dan tak dapat dibedakan, yang ada pada waktu itu adalah kekosongan dan yang tanpa bentuk. Dengan tenaga panas yang luar biasa lahirlah kesatuan yang kosong Sinarnya terentang keluar. Apakah ia melintang? Apakah ia di bawah atau di atas? Beberapa menjadi pencurah benih, yang lain amat hebat. Makanan adalah benih rendah, pemakan adalah benih unggul.
Siapakah yang sungguh-sungguh mengetahui? Siapakah di dunia ini yang dapat menerangkannya? Dari manakah kejadian itu, dan dari manakah timbulnya? Para Dewa ada setelah kejadian itu. Lalu, siapakah yang tahu, darimana ia muncul?
Dia, yang merupakan awal pertama dari kejadian itu, dari-Nya kejadian itu muncul atau mungkin tidak. Dia yang mengawasi dunia dari surga tertinggi, sangat mengetahuinya atau mungkin juga tidak.
     Kosmologi Hindu merupakan pengetahuan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam semesta menurut filsafat Hindu. Dalam ajaran kosmologi Hindu, alam semesta dibangun dari lima unsur, yakni: tanah (zat padat), air (zat cair), udara (zat gas), api (plasma), dan ether. Kelima unsur tersebut disebut Pancamahabhuta atau lima unsur materi.
     Menurut kepercayaan Hindu, alam semesta terbentuk secara bertahap dan berevolusi. Penciptaan alam semesta dalam kitab Upanisad diuraikan seperti laba-laba memintal benangnya tahap demi tahap, demikian pula Brahman menciptakan alam semesta tahap demi tahap. Brahman menciptakan alam semesta dengan tapa. Dengan tapa itu, Brahman memancarkan panas. Setelah menciptakan, Brahman menyatu ke dalam ciptaannya.
     Menurut kitab purana pada awal proses penciptaan, terbentuklah Brahmana. Pada awal proses penciptaan juga terbentuk purusa dan Prakerti. Kedua kekuatan ini bertemu sehingga terciptalah alam semesta. Tahap ini terjadi berangsur-angsur, tidak sekaligus. Mula-mula yang muncul adalah Citta (alam pikiran), yang sudah mulai dipengaruhi oleh Triguna, yaitu Sattwam, Rajas dan Tamas. Tahap selanjutnya adalah terbentuknya Triantahkarana, yang terdiri dari Buddhi (naluri); Manah (akal pikiran); Ahamkara (rasa keakuan). Selanjutnya, muncullah Pancabuddhindria dan Pancakarmendria, yang disebut pula Dasendria (sepuluh indria).
     Setelah timbulnya Pancabuddhindria dan Pancakarmendria, maka sepuluh indria tersebut berevolusi menjadi Pancatanmatra, yaitu lima benih unsur alam semesta yang sangat halus, tidak berukuran. Lima benih tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1. Sabdatanmatra (benih suara)
2. Rupatanmatra (benih penglihatan)
3. Rasatanmatra (benih perasa)
4. Gandhatanmatra (benih penciuman)
5. parsatanmatra (benih peraba)
     Pancatanmatra merupakan benih saja. Pancatanmatra berevolusi menjadi unsur-unsur benda materi yang nyata. Unsur-unsur tersebut dinamai Pancamahabhuta, atau Lima Unsur Zat Alam. Kelima unsur tersebut yaitu:
.Akasa(ether), Bayu (zatgas, udara), Teja (plasma, api, kalor), Apah  (zat cair),  Pertiwi  (zat padat,tanah, logam)
     Pancamahabhuta berbentuk Paramānu, atau benih yang lebih halus daripada atom. Pada saat penciptaan, Pancamahabhuta bergerak dan mulai menyusun alam semesta dan mengisi kehampaan. Setiap planet dan benda langit tersusun dari kelima unsur tersebut, namun kadangkala ada salah satu unsur yang mendominasi. Unsur Teja mendominasi matahari, sedangkan bumi didominasi Pertiwi dan Apah.[24]
C.  Kelepasan dalam filsafat Nyaya
  Kelepasan akan dapat dicapai dengan melalui pengetahuan yang benar dan sempurna. Sebagai wujud dari kelepasan ialah terbebasnya jiwatma dari kelahiran kesenangan maupun penderitaan.
  Agar kelahiran dan derita terhenti maka hendaklah aktifitas (kerja) dihentikan sehingga terwujudlah kelepasan yaitu suatu keadaan yang tidak terikat akan karma ataupun phala karma. Untuk menghentikan aktifitas maka orang (makhluk) harus melandasi hidupnya dengan pengetahuan kebenaran sejati sehingga dengan pengetahuan itu orang akan bebas dari ketidaktahuan yang menyebabkan orang menjadi sadar dan bebas dari keinginan, kesalahan dan penyelewengan. Dengan demikian jiwatma akan bebas dari keterlibatan derita tercapailah kelepasan.[25]
2.      Mimamsa
      Sistem Mimamsa digolongkan dalam bagian ketiga dari filsafat Hindu. Istilah Mimamsa berasal dari kata dasar man berarti ’berfikir’, ‘memperhatikan’, ‘menimbang’, atau ‘menyelidiki’. Ditinjau dari segi etimologi ingin berfikir : disini menandakan suatu pemikiran, pemeriksaan atau penyelidikan, dari teks weda. Ia melengkapi pandangan pada weda (kebenaran abadi).[26] Dalam sumber lain yang ditulis oleh Matius Ali, secara etimologis kata Mimamsa berarti ‘bertanya’ atau ‘penyelidikan’.[27]
      Mimamsa dibagi menjadi dua sistem, yakni purwamimamsa dan uttaramimamsa. Kata purna berarti lebih dahulu, maka purwamimamsa artinya yang berurusan dengan bagian lebih dahulu dari pustaka weda. Demikian pula kata uttara berarti yang kemudian  jadi uttaramimamsa berurusan dengan bagian akhir dari pustaka weda. Kedua sistem tersebut mempergunakan metode logika yang sama untuk menghadapi persoalan; tetapi memakai lingkungan tafsiran masing-masing. Purvamimamsa juga disebut karma mimamsa, menafsirkan aksi terlarang dalam weda, memimpin ke jurusan kebebasan roh/soul.[28] Dengan kata lain Mimamsa disebut Karma Mimamsa karena dalam prakteknya sangat menekankan karma yaitu pelaksanaaan upacara agama untuk mencapai tujuan.[29] Uttara mimamsa, juga disebut Jnana mimamsa menafsirkan pengetahuan yang dikemukakan dalam pustaka weda, demi pembebasan roh/soul.[30]
      Purwa mimamsa secara khusus mengkaji bagian Weda, yakni kitab-kitab Brahmana dan kalpasutra, sedang bagian yang lain (aranyaka dan upanisad) dibahas oleh Uttara Mimamsa yang dikenal pula dengan nama Vedanta. Purwa mimamsa sering juga disebut Karma mimamsa, sedang Uttara Mimamsa disebut juga Jnana Mimamsa.[31]
      Dalam buku yang ditulis oleh Matius Ali disebutkan bahwa Mimamsa yang bagian pertama dari filsafat ini adalah Purva Mimamsa, sedangkan bagian kedua disebut Uttara Mimamsa. Untuk menghindarkan kebingungan, maka Purva Mimamsa disebut dengan Mimamsa, sedangkan Uttara Mimamsa disebut dengan Vedanta.[32]
      Pembina sistem Mimamsa adalah Jamini yang hidup antara abad 3-2 SM. Ajarannya tercantum dalam kitab Mimamsa sutra. Di suatu tempat antara tahun 200-450 M penemuan-penemuan yang rasional dan definitif itu didokumentasikan dalam Purvamimamsa sutra.[33] Pada zaman berikutnya ajaran Mimamsa dikomentari oleh pengikutnya, yakni Sabaraswamin pada abad ke 4 M, Prabhakara pada tahun 650, dan Kumarila Bhata tahun 700. Oleh karena itu terjadilah dua aliran dalam Mimamsa, yakni Prabhakara dan Kumarila Bhata.
      Prabhakara mengajarkan lima cara untuk memperoleh pengetahuan dan Kumarila Bhata mengajarkan enam cara yang mana lima diantaranya sama dengan ajaran Prabhakara. Cara-cara tersebut adalah:
a.      Pengamatan (Pratyaksa)
b.      Penyimpulan (Anumana)
c.      Kesaksian (Sabda)
d.     Pembandingan (Upamana)
e.      Persangkaan (Arthapatti)
Bila empat cara pertama tidak dapat dipakai maka dipakailah cara ini. Misalnya: bila terlihat seseorang dalam keadaan senyum dan mukanya berseri-seri maka dapat diduga bahwa orang tersebut sukses dalam usahanya.
f.       Ketiadaan (Anupalabdhi)
Ialah cara yang diajarkan oleh Kumarila Bhata. Dapat diterangkan dengan contoh.
Misalnya: bila seseorang masuk ke dalam kamar dan mengamat-amati sekeliling kamar dan mengatakan tidak ada jenis meja di dalam kamar. Dia tidak melihat meja karena memang tidak ada meja. Maka orang menjadi tahu keadaan kamar dan ketidakadaan meja karena tidak mengamati sesuatu.
      Mimamsa memandang bahwa cara kesaksian (Sabda) ialah yang paling penting dan utama, yakni kesaksian dalam Weda. Weda adalah kebenaran yang tertinggi dan sebagai sumber pengetahuan yang sempurna. [34]
      Mimamsa tidak mengenal Tuhan, yakni ada kosmis yang memberikan hukuman atau hadiah pada tindakan individual (karma) yang dilakukan jiwa individual. Filsafat mimamsa tidak banyak memberikan perhatian pada kosmologi. Namun, mimamsa menyebutkan ke enam kategori unsur, yakni: tanah, air, api, udara, eter, dan suara (sabda). Menurut Mimamsa setiap kategori unsur disebabkan oleh unsur sebelumnya. Air menyebabkan tanah; api mkenyebabkan air, dst. Karena itu suara adalah satu-satunya penyebab terjadinya penciptaan dan bersifat abadi. Semua kategori lain dengan komposisi atomisnya adalah bersifat sementara.
     Filsafat Mimamsa adalah sebuah disiplin esoteris. Tujuannya adalah untuk mencapai kebahagiaan surgawi dengan merealisasikan suara kosmis (Sabda Brahman). Upacara kurban dianggap sebagai sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Di sini, tafsir esoteris kata yajna adalah ‘mengendalikan indera dan pikiran’. Pengendalian ini dicapai dengan pengendalian energi hidup’ (prana) melalui pengendalian napas (pranayama). Syarat penting lainnya dalam praktek upacara kurban adalah melepaskan milik pribadi serta ‘disiplin diri’ (yama) melalui sumpah yang keras.[35]
     Namun disebutkan dalam buku Tattwa Darsana bahwa tujuan pokok dari Mimamsa adalah menyusun aturan dan tehnik untuk menerangkan ajaran Weda terutama tentang pelaksanaan dharma.[36] –istilah dharma berasal dari kata dhar artinya memegang, menunjang, memelihara atau mengawetkan. Berarti sesuatu untuk dipegang, dipeliihara, atau diawetkan. Apabila dipakai dalam arti metafisika berarti hukum.[37]— yang dimaksud dharma (hukum) disini adalah upacara-upacara keagamaan yang bersumber pada Weda. Mimamsa sangat mengutamakan kesusilaan. Kebersihan dalam kesusilaan merupakan syarat mutlak dalam pelaksanaan upacara karena kebersihan itu dapat menyebabkan berhasilnya upacara korban dan dapat memberikan phala yang diharapkan.[38] –phala dapat diartikan dengan buah atau hasil[39]--
     Dharma yang dilakukan sekarang dengan hasilnya diterangkan dalam ajaran apurwa (tenaga yang tidak tampak). Dalam ajaran ini dinyatakan bahwa dharma atau korban dapat melahirkan tenaga (daya/kekuatan) dalam jiwa. Tenaga berhubungan dengan buahnya sampai buahnya masak. Jadi tenaga menjadi jembatan antara dhaema dengan buahnya sehingga buah dapat dipetik.[40]
     Dasar utama dharma adalah perbuatan (aksi) yang merupakan wujud kehidupan manusia. Maka perbuatan berfungsi sebagai kendaraan untuk menanamkan benih kehidupan pada masa yang akan datang. Berdasarkan pendapat tersebut sebagai pangkal pembicaraan itu, Mimamsa menerima semua perbuatan terlarang dalam pustaka Weda, serta membagi menjadi dua bagian, yaitu: Mantra dan Brahmana.[41] Yang mana dibagi menjadi berikut:
1. Mantra atau Samhita. Ini adalah sebagian Weda yang mengandung perintah, merupakan koleksi dari nyanyian yang menerangkan dan membina seseorang yang benar. Ini dibagi pula menjadi:
Ø Rigveda: koleksi dari bagian yang mengandung perintah Weda, merupakan koleksi sajak-sajak suci yang bersusunan metris untuk menyampaikan ajaranya
Ø Sama Weda: suatu koleksi dar sajak-sajak yang dinyanyikan pada akhir upacara korban
Ø Yajur Weda: dalam bentuk prosa tanpa irama. Sajak ini terdiri dua jenis: nigada (yang harus dilafalkan dengan keras), dan Upamsu (yang harus dilafalkan dengan suara rendah atau diam-diam).
2.       Brahmana
No.
No.
1
Hetu-akal budi
6
Vidhi-Perintah
2
Nirvacanam-Penjelsan
7
Parakirya-Perbuatan suatu individu
3
Ninda-Gugatan; Kritik
8
Purakalpa-perbuatan para individu atau suatu negara atau para individu yang ditandakan dengan partikel ‘iti’, ‘aha’, atau ‘ha’
4
Prasansa-Pujian
9
Vyavadharanakalpana-interpretasi suatu kalimat menurut konteksnya
5
Samsaya-Kesangsian
10
Upamana-perbandinga




prinsip-prinsip yang di ikhtisarkan di atas dipakai dalam Mimamsasutra, terutama dalam upacara korban yang diperintahkan untuk kebaikan umat manusia.[42]
Pangkal pikiran Mimamsa tercentum dalam sajak pembukaan Mimamsa sutra yang berbunyi; “kini adalah pemeriksaan kewajiban (dharma)”. Inilah dasar untuk ingterpretasi seluruh Weda. [43]
Menurut Jamini, pengetahuan tentang dharma hanya dapat diperoleh melalui penyaksian kata-kata (sabda). Ke-enam sarana pengetahuan yang dipakai sistim-sistim lain, menurut Jamini kurang sempurna apabila berurutan dengan pengaruh/ efek rituil yang tidak kelihatan. Maka ia hanya menerima sabda atau perkataan. Untuk mempertahankan kedudukannya (argumentasinya), ia menggariskan lima pernyataan:
1.    Setiap perkataan (sabda) mempunyai daya yang kekal abadi
2.    Pengetahuan yang diturunkan dari perkataan (sabda) disebut upadeca (ajaran)
3.    Dalam alam yang tak kelihatan, perkataan (sabda) merupakan penuntun mutlak
4.    Pada hemat Badarayana, perbuatan bersifat penguasa memerintah.
5.    Perkataan mencukupi keperluan pribadi, tidak tergantung pada pengertian yang lain, jika tidak demikian ia akan menjadi buah pikiran yang tak benar.
  Metode tafsiran teks Weda yang dipakai Jamini merupakan ikhtisar istilah-istilah yang digunakan serampangan dalam teksnya. Untuk keperluan tersebut, isi Weda dibaginya menjadi lima bagian:
1.    Amanat/ perintah (Vidhi)
2.    Nyanyian/Puji-pujian (mantra)
3.    Nama khusus (Namadheya)
4.    Larangan (Nasedha)
5.    Ayat-ayat penjelasan (Arthavada).[44]
     Pustaka Mimamsa sutra terdiri atas dua belas bab (adhayana). Masing-masing dibagi menjadi empat bagian; sedangkan bab 3, 6, dan 10 berisikan delapan bagian. Jadi seluruhnya berjumlah enampuluh bagian. Tiap bagian dibagi pula menjadi seksi-seksi (adhikarana) dan tiap seksi dibentuk dalam bentuk seloka (bentuk kalimat ringkas). Tiap seksi (adhikarana) mempunyai lima bagian:
1.    Tesis/ Sasterakanta (Visaya)
2.    Kesangsian (samsaya)
3.    Antitese/pertentangan (purvapaksa)
4.    Konklusi benar/sintesis (siddhanta)
5.    Persetujuan/ketetapan hati (sampati)
Hanya bab pertama yang mengandung nilai filsafat. Bagian-bagian selanjutnya manjelaskan tafsiran ritual dan upacara-upacara kebaktian.
Dapat disimpulkan, menurut sistim Mimamsa segala yang ada di dunia ini merupakan komposisi dari benda-benda yang sesuai dengan karmanya atau kerjanya; karma ialah suatu moral atau tata susila yang menentukan kebebasan jiwa setiap umat daripada kelahiran kembali, maka harus melakukan ritual atau kebaktian dengan saran yang benar guna mendapatkan hasilnya.[45]
A.    Alam dalam filsafat Mimamsa
  Mimasa mengatakan bahwa alam ini riil dan kekal serta terjadi dari atom-atom yang kekal pula. Alam ini tidak dibuat oleh Tuhan karena alam ini ada dengan sendirinya. Kedua aliran mimasa baik phrabakara maupun kumarila bhata sama-sama mengajarkan adanya empat unsur di alam ini yaitu: substansi, kualitas, aktifitas dan sifat umum.
Substansi menurut Prabhakara terdiri dari sembilan (9), yaitu: bumi, air, api, hawa, akasa, akal, pribadi, ruang, waktu. Sedang substansi menurut Kumarita Bhata mengajarkan ada sebelas (11) yaitu sembilan sama dengan Prabhakara dan ditambah dua yaitu kegelapan (tamasa) dan suara.
Substansi itu adalah sesuatu yang dapat diamati karena terdiri dari atom-atom yang dapat diamati seperti debu halus yang tampak dalam sinar matahari. Substansi, kwalitas dan sifat umum sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dan dibedakan secara mutlak walaupun ketiganya itu sebenarnya berbeda karena ketiga-tiganya mewujudkan satu kesatuan yang bulat.
Contoh: daun itu hijau dan berfungsi sebagai alat fotosintesis. Daun dengan warna hijaunya dan sifat umumnya tidak dapat dipisahkan secara mutlak dan ketiganya itu mewujudkan satu kesatuan yang bulat sehingga menampakkan suatu benda.[46]
B.Weda dalam filsafat Mimamsa
  Mimamsa mendasarkan ajarannya pada kitab suci weda dan weda diakui sebagai sumber pengetahuan yang maha sempurna. Weda itu bukan hasil karya manusia karena weda itu amat sempurna sedangkan manusia tidak sempurna adanya. Walaupun demikan weda bukan pula ciptaan Tuhan karena weda telah ada tanpa ada yang mengadakan dan weda ada dengan sendirinya serta bersifat kekal abadi. Kebenaran weda mencakup kebenaran di dunia yang nyata ini dan di dunia yang tidak tampak oleh manusia.[47]
       Dalam filsafat Mimamsa, liturgi Weda dijelaskan melalui sejumlah besar data yang disampaikan dalam 900 judul terpisah, yang disebut adhikarama. Setiap judul mengandung argumen lengkap mengenai subjek tertentu. Judul terdiri atas lima bagian, yakni: topik masalah (vaisyaya), keraguan (samasya), argumen awal mengankat keraguan (purva-paksha), argumen berlawanan yang mencoba membantah argument awal (uttarapaksha), dan kesimpulan (nirnaya). Dengan cara ini, Mimamsa merumuskan secara canggih pola-pola liturgy ortodoks kitab Weda.[48]
PENUTUP
Kesimpulan
A.    Nyaya
·         Nyaya membicarakan bagian umum filsafat dan metode untuk mengadakan penelitian yang kritis
·         Pendiri ajaran ini adalah Mahersi Gautama (Gotami), kitabnya yaitu Nyayasutra
·         Nyaya memiliki tipe filsafat yang analitis serta menjunjung tinggi akal sehat dan sains. Ciri khas sistem Nyaya adalah penggunaan metode sebagai sains, yakni pemeriksaan logis dan kritis
·         Dalam arti sempit Nyaya berarti penalaran silogostis. Sedangkan dalam arti lebih luas, Nyaya berarti pemeriksaan objek melalui bukti-bukti. Karenanya Nyaya menjadi sebuah sains pembuktian atau pengetahuan nyang benar (Pramanashastra).
·         Untuk mengetahui dunia di luar manusia, pikiran dibantu (melalui perantara) oleh indera
·         pengetahuan kita berlaku (benar) atau tidak, hal itu tergantung dari alat-alat yang dipakai.
·         Alat-alat yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan disebut pramana
·         empat alat atau cara untuk mencari atau mendapatkan pengetahuan yang benar, diantaranya: Pratyaksa, Anumana, Upamana, Sabda.
·         Tuhan disamakan dengan siwa.
·         Menurut Nyaya Tuhan adalah penyebab tertinggi penciptaan, pemeliharaan, dan peleburan dunia
·         Ada dua macam pembuktian tentang Tuhan: Komologi, yaitu Pembuktian ini menyatakan bahwa dunia ini adalah akibat dari suatu sebab. Sebab itulah Tuhan; dan teleologis, yaitu di dunia ini ada suatu tata tertib dan aturan tertentu sehingga dunia ini menampakkan suatu rencana yaitu Tuhan
·         Tuhan sebagai penggerak pertama dan utama dari atom-atom yang menjadikan benda-benda di alam ini. Tuhan menciptakan, merawat, melebur alam dan segala isinya dengan pengaruh karma dari alam dan isinya.
·         Dunia yang diciptakan ini lengkap dengan derita dan kebahagiaan dalam bentuk yang beraneka ragam, dapat atau tidaknya makhluk menikmati kebahagiaan di dunia ini sangat tergantung dari benar tidaknya pengetahuan yang dimiliki oleh makhluk
·         Dalam ajaran kosmologi Hindu, alam semesta dibangun dari lima unsur, yakni: tanah (zat padat), air (zat cair), udara (zat gas), api (plasma), dan ether. Kelima unsur tersebut disebut Pancamahabhuta atau lima unsur materi.
·         alam semesta terbentuk secara bertahap dan berevolusi
·         Pada awal proses penciptaan juga terbentuk purusa dan Prakerti
·         Kedua kekuatan ini bertemu sehingga terciptalah alam semesta
·         Mula-mula yang muncul adalah Citta (alam pikiran), yang sudah mulai dipengaruhi oleh Triguna, yaitu Sattwam, Rajas dan Tamas. Tahap selanjutnya adalah terbentuknya Triantahkarana, yang terdiri dari Buddhi (naluri); Manah (akal pikiran); Ahamkara (rasa keakuan). Selanjutnya, muncullah Pancabuddhindria dan Pancakarmendria, yang disebut pula Dasendria (sepuluh indria).
·         Setelah timbulnya Pancabuddhindria dan Pancakarmendria, maka sepuluh indria tersebut berevolusi menjadi Pancatanmatra, yaitu lima benih unsur alam semesta
·         Pancatanmatra berevolusi menjadi unsur-unsur benda materi yang nyata. Unsur-unsur tersebut dinamai Pancamahabhuta, atau Lima Unsur Zat Alam
·         Pada saat penciptaan, Pancamahabhuta bergerak dan mulai menyusun alam semesta dan mengisi kehampaan
·         Kelepasan akan dapat dicapai dengan melalui pengetahuan yang benar dan sempurna
·         Agar kelahiran dan derita terhenti maka hendaklah aktifitas (kerja) dihentikan, Untuk menghentikan aktifitas maka orang (makhluk) harus melandasi hidupnya dengan pengetahuan kebenaran sejati sehingga dengan pengetahuan itu orang akan bebas dari ketidaktahuan dan bebas dari keinginan, kesalahan dan penyelewengan
·         Dengan demikian jiwatma akan bebas dari keterlibatan derita tercapailah kelepasan
B.     Mimamsa
·         Istilah Mimamsa berasal dari kata dasar man berarti ’berfikir’, ‘memperhatikan’, ‘menimbang’, atau ‘menyelidiki’.
·         Secara etimologi ingin berfikir . berarti  pemikiran, pemeriksaan atau penyelidikan, dari teks weda
·         Purwa mimamsa secara khusus mengkaji bagian veda
·         Purvamimamsa juga disebut karma mimamsa, menafsirkan aksi terlarang dalam weda
·         Pembina sistem Mimamsa adalah Jamini, kitabnya Mimamsa sutra
·         Ada dua aliran dalam Mimamsa, yakni Prabhakara dan Kumarila Bhata
·         rabhakara mengajarkan lima cara untuk memperoleh pengetahuan dan Kumarila Bhata mengajarkan enam
·         Mimamsa memandang bahwa cara kesaksian (Sabda) ialah yang paling penting dan utama, yakni kesaksian dalam Weda
·         Tujuan Mimamsa adalah untuk mencapai kebahagiaan surgawi, hal itu dapat dilakukan dengan pelaksanaan dharma, yakni upacara kurban
·         Mimamsa menerima semua perbuatan terlarang dalam pustaka Weda, serta membagi menjadi dua bagian, yaitu: Mantra dan Brahmana
·         Pangkal pikiran Mimamsa tercentum dalam sajak pembukaan Mimamsa sutra yang berbunyi; “kini adalah pemeriksaan kewajiban (dharma)”
·         Menurut Jamini, pengetahuan tentang dharma hanya dapat diperoleh melalui penyaksian kata-kata (sabda)
·         Pustaka Mimamsasutra terdiri atas dua belas bab (adhayana). Masing-masing dibagi menjadi empat bagian; sedangkan bab 3, 6, dan 10 berisikan delapan bagian
·         Hanya bab pertama yang mengandung nilai filsafat. Bagian-bagian selanjutnya manjelaskan tafsiran ritual dan upacara-upacara kebaktian
·         Menurut Mimamsa alam itu kekal, tidak dibuat ileh Yuhan, dan ada dengan sendirinya
·         Substansi yaitu: bumi, air, api, hawa, akasa, akal, pribadi, ruang, waktu, ditambah tamas dan suara
·         Substansi, kwalitas, dan sifat umum tidak dapat dipisahkan
·         weda diakui sebagai sumber pengetahuan yang maha sempurna, weda bukan pula ciptaan Tuhan, weda ada dengan sendirinya.
DAFTAR PUSTAKA
·         Admin, Pratyaksa, diakses pada 13 November 2012, dari  http://informatika.undiksha.ac.id/sklb/?p=188
·         Djam’annuri,Agama Kita perspektif Sejarah Agama-Agama, Penerbit Kurnia Kalam Semesta, Jakarta:2009
·         Harsa Swabodhi, opamana-pramana Budha Dharna dan Hindu Dharma, Medan:Yayasan Perguruan Budaya & Budaya, 1980
·         Harun Hadiwijono, Sari Filsafat India, PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta:1989
·         Heinrich Zimmer, Sejarah Filsafat India, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, cet. I, 2003
·         I Gede Rudia Adiputra dkk, Tattwa Darsana, Yayasan Dharma Sarathi, Jakarta:1990
·         I Made Titib, Pengantar Weda, Hanuman Sakti, Jakarta: 1996
·         Matius Ali, Filsafat India, Sanggar Luxor, Karang Mulya: 2010, cet l
·         Teja Surya, filsafat Nyaya diakses pada 12 September 2012,  http://www.tejasurya.com/artikel-spiritual/filsafat/87.html
·         Wikipedia, kosmologi Hindu, diakses pada 19 September 2012, dari http://id.wikipedia.org/wiki/Kosmologi_Hindu
·         Wikipedia, Agama Hindu, diakses pada 15 November 2012, dari http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Hindu



[1] Harun Hadiwijono, Sari Filsafat India, Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 1989, h. 53
[2] I Gede Rudia Adiputra dkk, Tattwa Darsana, Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi, 1990, h. 21
[3] Harsa Swabodhi, opamana-pramana Budha Dharna dan Hindu Dharma, Medan:Yayasan Perguruan Budaya & Budaya, 1980, h. 12
[4] I Made Titib, Pengantar Weda, Jakarta: Hanuman Sakti, 1996, h. 155
[5] I Made Titib, Pengantar Weda, Jakarta: Hanuman Sakti, 1996, h. 155
[6] Matius Ali, Filsafat India, Karang Mulya: Sanggar Luxor , cet l, 2010, h. 33-35
[7] Harsa Swabodhi, opamana-pramana Budha Dharna dan Hindu Dharma, h. 12
[8] Harun Hadiwijono, Sari Filsafat India, h. 53
[9] Djam’annuri,Agama Kita perspektif Sejarah Agama-Agama, Jakarta: Penerbit Kurnia Kalam Semesta, 2009, h. 57-58
[10] I Gede Rudia Adiputra dkk, Tattwa Darsana, h. 24-25
[11] Harsa Swabodhi, opamana-pramana Budha Dharna dan Hindu Dharma, h. 13
[12] Djam’annuri,Agama Kita perspektif Sejarah Agama-Agama, h. 58
[13] I Gede Rudia Adiputra dkk, Tattwa Darsana, h. 23-24
[14] Harsa Swabodhi, opamana-pramana Budha Dharna dan Hindu Dharma, h. 13
[15] Djam’annuri,Agama Kita perspektif Sejarah Agama-Agama, h. 58
[16] I Gede Rudia Adiputra dkk, Tattwa Darsana, h. 22
[17] Harsa Swabodhi, opamana-pramana Budha Dharna dan Hindu Dharma, h. 13
[18] Djam’annuri,Agama Kita perspektif Sejarah Agama-Agama, h. 58
[19] I Gede Rudia Adiputra dkk, Tattwa Darsana, h. 22
[20] Admin, Pratyaksa, diakses pada 13 november 2012, dari http://informatika.undiksha.ac.id/sklb/?p=188
[21] I Gede Rudia Adiputra dkk, Tattwa Darsana, h. 26
[22] Teja Surya,  filsafat Nyaya Diakses pada 12 september 2012,, http://www.tejasurya.com/artikel-spiritual/filsafat/87.html
[23] I Gede Rudia Adiputra dkk, Tattwa Darsana, h. 25-26
[24] Wikipedia, kosmologi Hindu, diakses pada 19 sept 2012, dari http://id.wikipedia.org/wiki/Kosmologi_Hindu
[25] I Gede Rudia Adiputra dkk, Tattwa Darsana, h. 27-28
[26] Harsa Swabodhi, opamana-pramana Budha Dharna dan Hindu Dharma, h. 27
[27] Matius Ali, Filsafat India, Sanggar Luxor ,Karang Mulya: 2010, cet l, h. 89
[28] Harsa Swabodhi, opamana-pramana Budha Dharna dan Hindu Dharma, h. 83
[29] I Gede Rudia Adiputra dkk, Tattwa Darsana, h. 37
[30] Harsa Swabodhi, opamana-pramana Budha Dharna dan Hindu Dharma, h. 83
[31] I Made Titib,Pengantar Weda, h. 154
[32] Matius Ali, Filsafat India, h. 89
[33] Heinrich Zimmer, Sejarah Filsafat India, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet l, 2003, h. 584
[34] I Gede Rudia Adiputra dkk, Tattwa Darsana, h. 37-39
[35] Matius Ali, Filsafat India, h. 90-92
[36] I Gede Rudia Adiputra dkk, Tattwa Darsana, h. 39
[37] Harsa Swabodhi, opamana-pramana Budha Dharna dan Hindu Dharma, h. 29
[38] I Gede Rudia Adiputra dkk, Tattwa Darsana, h. 39
[39] Wikipedia, Agama Hindu, diakses pada 15 november 2012, dari http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Hindu
[40] I Gede Rudia Adiputra dkk, Tattwa Darsana, h. 40
[41] Harsa Swabodhi, opamana-pramana Budha Dharna dan Hindu Dharma, h. 28
[42] Harsa Swabodhi, opamana-pramana Budha Dharna dan Hindu Dharma, h. 31
[43] Harsa Swabodhi, opamana-pramana Budha Dharna dan Hindu Dharma, h. 29
[44] Harsa Swabodhi, opamana-pramana Budha Dharna dan Hindu Dharma, h. 30
[45] Harsa Swabodhi, opamana-pramana Budha Dharna dan Hindu Dharma, h. 30-31
[46] I Gede Rudia Adiputra dkk, Tattwa Darsana, h. 40
[47] I Gede Rudia Adiputra dkk, Tattwa Darsana, h. 41
[48] Matius Ali, Filsafat India, h. 90