Jumat, 06 Desember 2013

Kapan kira-kira dunia ini PRALAYA ?


Dalam Bhagawad Gita VIII.17-19 ( Akshara Brahma yoga ), oleh Nyoman S.Pendit disebutkan bahwa: Waktu dibagi menjadi 4 jaman yaitu : Krita yuga = 4.000 tahun Dewa, Treta yuga = 3.000 tahun Dewa, Dwapara yuga = 2.000 tahun Dewa dan Kali yuga = 1.000 tahun Dewa. Masa transisi diantara ke-4 jaman tersebut memakan waktu = 2.000 tahun Dewa, sehingga siklus 4 jaman tersebut akan berulang setiap = 12.000 tahun Dewa. Untuk tahun manusia masa jaman ini akan terulang setiap : 360 x 12.000 tahun = 4.320.000 tahun manusia / tahun bumi / Jagad-yuga. Disebutkan juga bahwa SATU SIANG BRAHMAN adalah 1000 x Jagad-yuga = 1.000 x 4.320.000 tahun = 4.320.000.000 tahun manusia ( dissebut : 1 kalpa ).Demikian juga lamanya SATU MALAM BRAHMAN.

Aliran Tantrayana, Mantyayana dan Vajrayana



1.      Aliran Tantrayana, Mantrayana dan Vajrayana
Secara umum ajaran Buddha terbagi dalam tiga aliran:
a.       Theravada/hinayana pencapaian tertinggi seorang Arahat.
b.      Mahayana pencapaian tertingginya menjadi seorang Bodhisatva.
c.       Tantrayana/vajrayana pencapaian tertingginya adalah menjadi seorang Buddha.
Vajrayana alias Tantrayana alias Mantrayana adalah sebuah sub sekte daripada Mahayana. Boleh dibilang, Tantrayana adalah aspek esoterik dari Buddhism, khususnya Mahayana. Yang mana seharusnya merupakan tahap akhir dalam perjalanan spiritual seorang Buddhist setelah sebelumnya menapaki Staviravada (Theravada), lalu kepada Mahayana

Jumat, 29 November 2013

PENTING UNTUK DIPAHAMI / DIYAKIN


1.                  Jagad raya ini diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa  dan  pencipta ini tidak pernah berubah / kekal abadi, tetap ada walaupun ciptaanNya dalam rentang waktu tertentu sudah tidak ada lagi / punah.
2.                  Dijagad raya ini selain dari Tuhan itu sendiri, yang kekal adalah PERUBAHAN
3.                  Perubahan sengaja diciptakan abadi agar ada kemajuan  atau kemunduran dalam setiap proses pencapaian tingkat kehidupan tertentu yang lebih baik

Kamis, 28 November 2013

Tri Sandhya dan Panca Sembah



Sebagai Umat Hindu, kita selalu melaksanakan Persembahyangan baik dirumah, di Pura atau ditempat-tempat yang dianggap suci atau disucikan. Persembahnyangn dapat dilaksanakan secara sendiri-sendiri/perorangan atau secara bersama-sama. Sebelum melakukan persembahyangan (baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama) sedapat mungkin Persembahyangan diawali dengan Puja Trisandya dirangkai dengan Panca Sembah.

Sabtu, 16 November 2013

Banten Pejati - Cara Membuat Dan Kajian Filosofis



Banten dalam agama Hindu adalah bahasa agama. Ajaran suci Veda sabda suci Tuhan itu disampaikan kepada umat dalam berbagai bahasa. Ada yang meggunakan bahasa tulis seperti dalam kitab Veda Samhita disampaikan dengan bahasa Sanskerta, ada disampaikan dengan bahasa lisan. Bahasa lisan ini sesuai dengan bahasa tulisnya.

Setelah di Indonesia disampaikan dengan bahasa Jawa Kuno dan di Bali disampaikan dengan bahasa Bali. Disamping itu Veda juga disampaikan dengan bahasa Mona. Mona artinya diam namun banyak mengandung informasi tentang kebenaran Veda dan bahasa Mona itu adalah banten. Dalam “Lontar Yajña Prakrti” disebutkan:
sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka anda bhuana
artinya:
semua jenis banten (upakara) adalah merupakan simbol diri kita, lambang kemahakuasaan Hyang Widhi dan sebagai lambang Bhuana Agung (alam semesta).

Banten Pejati Banten pejati adalah nama Banten atau (upakara), sesajen yang sering dipergunakan sebagai sarana untuk mempermaklumkan tentang kesungguhan hati akan melaksanakan suatu upacara, dipersaksikan ke hadapan Hyang Widhi dan prabhavaNya.
Dalam “Lontar Tegesing Sarwa Banten”, dinyatakan:
Banten mapiteges pakahyunan, nga; pakahyunane sane jangkep galang
Artinya:
Banten itu adalah buah pemikiran artinya pemikiran yang lengkap dan bersih.

Bila dihayati secara mendalam, banten merupakan wujud dari pemikiran yang lengkap yang didasari dengan hati yang tulus dan suci. Mewujudkan banten yang akan dapat disaksikan berwujud indah, rapi, meriah dan unik mengandung simbol, diawali dari pemikiran yang bersih, tulus dan suci. Bentuk banten itu mempunyai makna dan nilai yang tinggi mengandung simbolis filosofis yang mendalam. Banten itu kemudian dipakai untuk menyampaikan rasa cinta, bhakti dan kasih.

Pejati berasal bahasa Bali, dari kata “jati” mendapat awalan “pa”. Jati berarti sungguh-sungguh, benar-benar. Banten pejati adalah sekelompok banten yang dipakai sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi dan manifestasiNya, akan melaksanakan suatu upacara dan mohon dipersaksikan, dengan tujuan agar mendapatkan keselamatan. Banten pejati merupakan banten pokok yang senantiasa dipergunakan dalam Pañca Yajña.

Adapun unsur-unsur banten pejati, yaitu:
  1. Daksina
  2. Banten Peras,
  3. Banten Ajuman/Soda
  4. Ketupat Kelanan
  5. Penyeneng/Tehenan/Pabuat
  6. Pesucian Pesucian
  7. Segehan alit

Sarana yang Lain
  • Daun/Plawa; lambang kesejukan.
  • Bunga; lambang cetusan perasaan
  • Bija; lambang benih-benih kesucian.
  • Air; lambang pawitra, amertha
  • Api; lambang saksi dan pendetanya Yajna.
Ketupat Kelanan Unsur-unsur yang membentuk ketupat kelanan:
Alasnya tamas/taledan atau ceper, kemudian diisi buah, pisang dan kue secukupnya, enam buah ketupat, rerasmen/lauk pauk + 1 butir telor mateng dialasi tri kona/ tangkih/celemik, sampyan palus/petangas, canang sari. Ketupat Kelanan adalah lambang dari Sad Ripu yang telah dapat dikendalikan atau teruntai oleh rohani sehingga kebajikan senantiasa meliputi kehidupan manusia. Dengan terkendalinya Sad Ripu maka keseimbangan hidup akan meyelimuti manusia.

Siapa yang menerima Banten pejati ?
Banten Pejati dihaturkan kepada Sanghyang Catur Loka Phala, yaitu
  • Peras kepada Sanghyang Isvara
  • Daksina kepada Sanghyang Brahma
  • Ketupat kelanan kepada Sanghyang Visnu
  • Ajuman kepada Sanghyang Mahadeva

Penjelasan Bahan Banten Pejati Menurut Lontar Tegesing Sarwa Banten;
Mengenai rerasmen: “ Kacang, nga; ngamedalang pengrasa tunggal, komak, nga; sane kakalih sampun masikian”. Artinya: Kacang-kacangan menyebabkan perasaan itu menjadi menyatu, kacang komak yang berbelah dua itu sudah menyatu. 
Ulam, nga; iwak nga; hebe nga; rawos sane becik rinengo”. Artinya: Ulam atau ikan yang dipakai sarana rerasmen itu sebagai lambang bicara yang baik untuk didengarkan.
Mengenai buah-buahan; “ Sarwa wija, nga; sakalwiring gawe, nga; sana tatiga ngamedalang pangrasa hayu, ngalangin ring kahuripan”. Artinya: Segala jenis buah-buahan merupakan hasil segala perbuatan, yaiyu perbuatan yang tiga macam itu (Tri Kaya Parisudha), menyebabkan perasaan menjadi baik dan dapat memberikan penerangan pada kehidupan.
Mengenai Kue/Jajan: “ Gina, nga; wruh, uli abang putih, nga; lyang apadang, nga; patut ning rama rena. Dodol, nga; pangan, pangening citta satya, Wajik, nga; rasaning sastra, Bantal, nga; phalaning hana nora, satuh, nga; tempani, tiru-tiruan”. Artinya; Gina adalah lambang mengetahui, Uli merah dan Uli putih adalah lambang kegembiraan yang terang, bhakti terhadap guru rupaka/ ayah-ibu, Dodol adalah lambang pikiran menjadi setia, wajik adalah lambang kesenangan mempelajari sastra, Bantal adalah lambang dari hasil yang sungguh-sungguh dan tidak, dan Satuh adalah lambang patut yang ditirukan.
Mengenai bahan porosan: “ Sedah who, nga; hiking mangde hita wasana, ngaraning matut halyus hasanak, makadang mitra, kasih kumasih”. Artinya: Sirih dan pinang itu lambang dari yang membuatnya kesejahteraan/kerahayuan, berawal dari dasar pemikirannya yang baik, cocok dengan keadaanny, bersaudara dalam keluarga, bertetangga dan berkawan

Demikian kupasan banten Pejati baik (upakara) maupun kajian filosofisnya, sehingga dengan pemahaman ini dapat menumbuhkan kesadaran, keyakinan, dan kemantapan umat Hindu dalam membuat dan menghaturkan Banten Pejati dan melaksanakan ajaran agama Hindu yang penuh dengan simbol-simbol, sehingga dapat mengikis dogma “Anak Mula Keto”, di masa yang akan datang.


Berbagai sumber.