1. Pengertian
Menurut kamus Agama Hindu, Upanayana
: Upacara penyucian murid yang baru belajar Weda yang dilakukan oleh seorang
Guru. Dalam Kitab Sathapatha Brahmana dijelaskan : Bahwa seorang Acharya
meletakkan telapak tangannya di ubun-ubun anak itu sebagai simbol persatuan dan
pencurahan seluruh personalitenya kepada murid-muridnya dan setelah itu barulah
diajarkan mantra sawitri untuk menjadikannya sebagai seorang
brahmana.(konsep-konsep śraddhā agama Hindu).
Upanayana artinya mendekatkan, saat
itu si anak didekatkan dengan gurunya yaitu Guru spiritual. Sang Guru
mengenakannya benang suci yang disebut Yajnopawita dan mentasbihkannya dengan
pemberian mantra Gayatri dan sebuah tongkat. Ini merupakan permulaan dari
Brahmacarya yaitu kehidupan membujang dan mulai kehidupan belajar. (Intisari ajaran Hindu, Paramita Surabaya, 2003).
Upanayana yaitu upacara ini siap
dimana seorang anak untuk pertamakalinya diterima untuk masuk berguru pada
seorang Guru spiritual. Umur anak itu dihitung sejak dalam bentuk pembuah
pertama, artinya sembilan bulan sebelum lahir.(Manawadharmasastra
II.36). Swadyaya yaitu belajar sendiri tentang Weda, mempelajari Weda.
Wrata : brata, yaitu dengan mengendalikan hawa nafsu, berjanji untuk sesuatu
yang melanggar ketentuan misalnya Sawitri wrata (brata sawitri), tidak makan
daging, tidak tidur dan lain-lain. Melakukan Upacara Sawitri, upacara
pengucapan mantra sawitri sebagai simbol masuk sekolah pertama. Mantra sawitri
adalah mantra Gayatri. Berdasarkan ayat ini ditetapkan batas maksimum seseorang
untuk memulai mengucapkan mantra sawitri (belajar) Yang kalau tidak dilakukan
dalam batas umur itu mereka itu di ancam kapatita (dijatuhkan dari golongannya)
dan menjadi wratya (orang barbar) yaitu golongan diluar warna yang empat dan
dikucilkan dari kearyaannya.(Manawadharmasastra II.28). Seorang yang ingin ahli
dalam Weda, menurut beberapa kritikus kurang tepat untuk dikaitkan bagi anak
yang bersangkutan tetapi harapan orang tua si anak menginginkan anaknya ahli
dalam bidangnya, ayahnya harus telah menyekolahkannya (mengupanayanakannya)
pada umur yang lebih muda, seperti untuk golongan brahmana dimulai pada umur
4(empat) tahun 5 (lima) bulan. (Manawadharmasastra II.38).
Seorang Brahmana yang di-inisiasi
yaitu seorang Brahmacari, menurut ayat ini kehidupannya masih tergantung pada
orang lain dan untuk menunjang kehidupan berguru dan tinggal di asrama itu,
para Brahmacari diwajibkan untuk minta-minta sedekahan dari keluarganya. Waktu
minta sedekah itu, tiap golongan memiliki cara sebutan untuk dipakai kepada
tuan rumah yang diminta, yaitu Nyonya rumah dengan sebutan Bhawati dan sebagai
kode tiap warna (golongan) mempunyai ketentuan untuk memakai istilah itu dengan
meletakkan kata Bhawati paling depan dari nama, diantara nama dengan harapan
permohonan.(Manawa dharmasastra II. 49-50).
Berdasarkan ayat ini pada permulaan
dan pada penutupan pelajaran,seorang murid harus memberi penghormatan kepada
seorang Guru dengan cara menyentuh kedua kaki guru itu sebagai tanda penyerahan
diri sepenuhnnya dan kebaktian yang tulus. Menurut sistem weda, karena ajaran
yang diterima pada waktu itu bersifat oral dan cara menulis belum dikenal maka
setiap ajaran yang diterima harus didengar dengan baik dan untuk mendengar
ajaran suci (Weda) diharapkan agar mencakupkan kedua belah tangan.
Karena itu orang-orang yang
bijaksana harus berjuang dan berusaha keras menguasai seluruh indrianya yang
gejolaknya diumpamakan seperti kuda yang menerjang menyusuri benda-benda
lahiriah yang dapat menyesatkan. Pengendalian ini dilukiskan seperti
perumpamaan seorang kusir yang mengendalikan kuda penghela kereta
(badannya).(Manawadharmasastra II.88). Ada sebelas macam alat-alat yang harus
dikendalikan, yaitu pikiran, alat perasa misalnya telinga, mata, hidung, kulit,
lidah. Sedangkan alat penggeraknya adalah pelepasan, kelamin, tangan, kaki dan
mulut. Adapun indria yang sangat terlambat oleh benda-benda jasmani yaitu bila
panca indria ini sangat gemar akan dipuaskan oleh benda-benda jasmani yang
dapat memberi kesenangan lahiriah. Pengendalian indria itu tidak hanya
tergantung dan dapat berhasil melalui belajar Weda atau beryajna, melakukan
niyama ataupun tapa. Niyamabrata yaitu sepuluh macam tuntutan sikap mental yang
harus dipenuhi yaitu dana (sedekahan), ijya (bersembahyang), tapa(menggembleng
diri dengan bersamadhi), dhyana (merenung dengan penuh pemusatan pikiran atau
sesuatu tujuan yang baik), swadyaya (mempelajari dan menghayati ajaran-ajara
weda dan mengenalkannya), upasthanigraha (mengendalikan nafsu sex), Brata
(mengendalikan panca indria dan taat pada sumpah), upavasa (berpuasa), mona
atau mauna (mengendalikan kata-kata dengan tidak berkata-kata yang tidak perlu)
dan snana (membersihkan badan, misalnya mandi). Samdhyam yaitu bersembahyang,
menyatukan diri atau menghubungkan diri, Japa : mengucapkan mantra-mantra.
Dalam bercakap dan menjawab pertanyaan seorang guru, seorang siswa tidak boleh
berbuat demikian yaitu dengan sambil lalu, misalnya dengan sambil lalu,
misalnya sambil berbaring, duduk ditempat tidur, dan pergi membuang muka. Untuk
mencapai kebajikan dan kebahagiaan seseorang tidak boleh menetap dalam satu
tempat, melainkan harus mencari pengalaman-pengalaman dari guru-guru yang lebih
dari satu perguruan ke perguruan lainnya.
2. Tempat, Waktu
Penyelenggaraan
a. Waktu Penyelenggaraan
Waktu penyelenggaraan upanayana yang
umum dipakai adalah menjelang upacara “penyineban” atau hari penutupan piodalan
yang disebut dengan “nyurud hayu”. Nyurud maksudnya adalah memohon, dan Hayu
artinya keselamatan, yang dilaksanakan sesaat sebelum Upacara piodalan itu akan
diakhiri atau ditutup.
b. Dewasa
Dewasa adalah suatu hari yang baik
untuk melaksanakan suatu upacara agama. Dewasa untuk upacara upanayana yang
umum dipakai adalah menjelang upacara penyineban, itu berarti mengikuti dewasa
piodalan dari tempat suci atau pura tempatnya akan melaksanakan upanayana.
Selain Dewasa itu, juga banyak yang
melakukan pada hari purnama. Dengan tujuan supaya pembersihan dan penyucian
terhadap dirinya benar-benar bersih dna terang seperti sinarnya bulan saat
bulan purnama. Selain itu juga ada yang menyelenggarakan upacara upanayana pada
hari raya saraswati, sebagai hari yang baik untuk turnnya ilmu pengetahuan
suci.
c. Tempat Upacara
Secara umum tempat penyelenggaraan
upacara upanayana itu adalah pada tempat suci yaitu Pura. Upanayana dapat
diselenggarakan diberbagai Pura, sesuai dengan keyakinan dari yang akan di
upanayana, misalnya pada pura ditempat mana ia mengabdikan dirinya, seperti
pura yang ada di sekolah-sekolah, kantor-kantor, kahyangan tiga, dang
kahyangan, sad kahyangan dan kahyangan jagad.
d. Pemimpin Upacara
Pemimpin upacar a upanayana
dilaksanakan oleh pendeta atau sulinggih yang sudah ma-dwijati.
e. Calon yang di Upanayana
Upanayana biasanya dilaksanakan oleh
calon-calon siswa pendidikan guru agama Hindu dan calon mahasiswa calon
perguruan tinggi seperti Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Gde Pudja Mataram
(STAHN), akademi pendidikan guru agama Hindu, sekolah tinggi keguruan ilmu
pendidikan agama Hindu secara massal, setelah mereka melaksanakan masa
prabhakti siswa atau mahasiswa melalui latihan-latihan mental, lalu dilanjutkan
dengan upacara sisya upanayana, untuk kemudian dapat mempelajari dan mendalami
ilmu-ilmu keagamaan yang didalamnya diajarkan melalui pengenalan dan pendalaman
tentang akasara-aksara suci.
f. Jalannya Upacara
Sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai melalui upacara upanayana ini, yaitu pembersihan dan penyucian diri
secara lahir dan batin, maka secara umum jalannya upacara upanayana
dilaksanakan sebagai berikut :
Upacara ini diawali dengan
melaksanakan pembersihan lahir seperti menyapu, menyingkirkan alat-alat yang
tidak perlu, misalnya ada sisa upakara-upakara yang masih tertinggal dan
membenarkan letak-letak sarana yang ada pada tempat-tempat suci dilingkungan
pura, tempat pelaksanaan upacara upanayana. Setelah itu dilanjutkan dengan
memasang busana perlengkapan untuk palinggih yang akan dipakai tempat
mensethanakan Hyang Widhi Wasa atau manifestasinya yang akan dihadirkan untuk
dipuja. Kemudian dilanjutkan dengan upacara penyucian terhadap palinggih tadi
dengan menghaturkan upakara-upakara berbentuk banten.
Setelah selesai upacara pembersihan
dan penyucian ini, dilanjutkan dengan mensthanakan Hyang Widhi Wasa atau
manifestasinya yang dihadirkan, misalnya kalau upacara upanayana itu
dilaksanakan di pura puseh, maka manifestasi Hyang Widhi Wasa yang berfungsi sebagai
Dewa Brahma disthanakan dulu di palinggih meru tumpang tuju atau pada palinggih
yang diperuntukkan beliau. Kalau dipura desa atau segara, manifestasi Hyang
Widhi Wasa yang berfungsi sebagai Dewa wisnu disthanakan pada palinggih gedong
dan atau kalau dilaksanakan di pura dalem, maka manifestasi Hyang Widhi Wasa
yang berfungsi sebagai Dewa siwa disthanakan dipalinggih gedong. Apabila
upanayana dilaksanakan dipamerajan maka Hyang Widhi Wasa atau manifestasinya
yang berfungsi sebagai Batara Hyang Guru disthanakan dulu di palinggih kamulan.
Selesai mensthanakan, barulah
dilanjutkan dengan mempersembahkan upakara-upakaranya, mulai dari sanggah
tutuan atau sanggah surya kehadapan Hyang Widhi Wasa dalam manifesatasinya
sebagai Siwa Raditya(dewanya matahari), dengan tujuan mohon agar beliau
menjadikan saksi dalam penyelenggaraan upacara upanayana, sehingga upacara
berjalan dengan tertib, lancar dan benar, sesuai dengan mantram pemujaannya
sebagai berikut :
“Om adityasya paramjoti
Rakta teja namo’stute
Swetapangkaja madyasthe
Bhaskaraya namo namah
Om hrang hring sah parama
siwadityaya namo namah swaha”
“Ya Tuhan selaku Hyang surya yang
bersinar merah semarak yang ku puja serta putih bersih laksana tunjung
ditengah-tengahnya, Surya yang maha Suci, Ya Tuhan selaku siwa Raditya, selaku
awal, tengah dan akhir sembahku adalah untukMu.
Berikutnya dilanjutkan dengan
upacara upanayana, yang diawali dengan melukat yaitu pembersighan diri dari
yang akan di upanayana dengan saran air kelapa muda (klungah). Kalau tingkat
upacaranya kecil,mempergunakan salah satu dari lima jenis kelapa yaitu (kelapa
bulan, sudamala, gading, surya dan mulung). Kalau tingkatan upacaranya madaya
atau menengah mempergunakan air kelapa muda sebanyak 3(tiga) jenis, dan kalau
tingkatan upanayana yang dilaksanakan utama maka mempergunakan lima jenis air
kelapa muda tersebut. Air kelapa muda itu dijadikan tirta oleh pendeta melalui
doa, puja dan mantranya, kemudian dipercikan dan di siramkan keanggota badan
dari yang akan di upacarai upanayana.
Selesai malukat dilanjutkan dengan
upacara mebyakala. Upacara ini bertujuan untuk memberikan pengorbanan suci
kepada para butha kala, agar tidak mengganggu jalannya upacara upanayana yang
akan dilaksanakan serta segera meninggalkan tempat upacara tersebut, untuk
kembali ketempatnya yang semula. Upacara ini dipimpin oleh pendeta atau yang
memimpin upacaranya dengan doa, puja dan mantranya, kemudian dilanjutkan dengan
“matepung tawar” serta diahiri dengan “natab” dan “ngayab” byakala dengan arah
tangan kebelakang atau samping, yang maksudnya mengantarkan dan mempersilahkan
para bhuta kala itu kembali ketempat asalnya. Selesai mebyakala dilanjutkan
dengan upacara “maprayascita”, yang dipergunakan sebagai penyucian yaitu
melengkapi upakara byakala. Kesucian yang diperoleh adalah dengan memohon
kekuatan-kekuatan yang dimiliki oleh para dewa, khususnya dewa nawa sanga, yang
mana hal tersebut dilukiskan dengan lis sanjata. Upacara maprayascita ini
memakai lis sanjata untuk memercikkan tirta sebagai sarana penyucian. Setelah
selesai maprayascita, dilanjutkan dengan upacara “masakapan”, yaitu perkawinan
dengan profesinya yang akan ditekuni dalam kehidupan selanjutnya. Mapadudusan
mempergunakan sarana Api. Padudusan berasal dari kata “dus”, yang artinya mandi
atau menyucikan diri dan dudus(bahasa bali) berarti menyucikan dengan asapnya
api, yang di antarkan dengan doa, puja dan mantra pendeta. Api adalah sarana
upakara yang berfungsi antara lain sebagai alat pembersih dan penyucian. Hal
ini disebutkan dalam pustaka suci Isa Upanisad (bagian Weda Sruti), tentang ke
Maha Kuasaan Tuhan/Hyang Widhi Wasa sebagai pengatur makhluk hidup, yang
dinyatakan sebagai berikut:
“Agne naya supatharayo asman
Wiswani dena wayunani widwan
Yuyudhy asmay yuhuranam eno
Bhuyistham to namo uktim widhona”
“O, Tuhan kuat laksana api, Maka
Kuasa, tuntunlah kami semua segala yang hidup ke jalan yang baik, segala
tingkah laku menujkku kepada-Mu yang bijaksana, jauhkan dai jalan tercela yang
jatuh dari padaMu, baik penghormatan maupun kata-kata yang hamba lakukan”.
Demikian makna upacara Padudusan
sebagai upacara penyucian mempergunakan asapnya api, yang diantarkan oleh
pendeta dengan kekuatan batinnya. Selesai upacara padudusan, dilanjutkan dengan
upacara “marajah”, yang bertujuan untuk mencapai tingkatan yang diseburt dalam
bahasa inggris “lotus”, artinya bunga teratai atau sunyata. Melalui
upacara upanayana, merupakan salah satu jalan bagi umat Hindu untuk menyucikan
dirinya secara lahir dan batin dalam hal mempelajari sastra, aksara suci
seperti simbul bunga lotus atau teratai, yang hidupnya bergumul dengan air dan
Lumpur, namun teratai itu tidak terpengaruh oleh kotornya air dan Lumpur
tempatnya hidup.
Untuk menjaga kesuciannya itu,
hendaknya diperoleh dengan daya dan upaya yang suci pula, sehingga dapat
dipergunakan kea rah yang suci juga. Alat-alat yang dipergunakan kea rah yang
suci juga. Alat-alat yang dipergunakan untuk Merajah atau menulisi beberapa
organ tubuh dari yang di upanayana, mempergunakan sarana berupa sirih
dan madu, yang dirajahkan pada :
- diantara kedua kening dengan
aksara suci Yang
- di dada dengan aksara suci Dang
- di tunggir dengan aksara Bang
- di telapak tangan dengan aksara
suci Tang
- di tengah lidah dengan aksara suci
Ing
- di ujung lidah dengan aksara suci
Ong
Selesai merajah atau menuliskan
aksara-aksara suci itu, pendeta menulisi pinang dengan aksara suci Ang, Ung,
Mang dan pada lekesan siih dengan aksara suci Ya, Ra, La, Wa dan setelah
selesai di tulisi lalu dimantrai, lalu diberikan kepada yang di upanayana untuk
dimakan atau ditelan, yang mengandung simbolis, bahwa aksara suci ilmu
pengetahuan untuk peningkatan dirinya menuju pada kesucian itu, sudah
dimasukkan kedalam dirinya untuk dipelihara dan menjiwainya berupa kekuatan
batin.
Selanjutnya setelah rangkaian upacara
merajah itu selesai, dilanjutkan kemudian dengan upacara mejaya-jaya, yaitu
upacara yang bertujuan menyatakan rasa syukur kehadapan Hyang Widhi Wasa atau
manifestasi yang telah dihadirkan, karena telah dapat dilaksanakan dengan baik
semua rangkaian upacara pembersihan dan penyucian itu.
Selesai mejaya-jaya, dilanjutkan
dengan memasang “siroswita” di kepalal, yaitu dengan secara melingkar pada
dahinya. Siroswita adalah sarana upakara yang dibuat dari 4(empat) lembar daun
alang-alang (ambengan) yang ujung-ujungnya diikatkan menjadi satu , diisi
“kalpika”. Kalpika terbuat dari sehelai daun pucuk (kembang sepatu) berisi tiga
macam bunga yang berwarna merah, putih, dan hitam. Ketiga warna tersebut
merupakan simbollis “pengurip-urip Trimurti”. Semua pemasangan ini dipimpin
oleh pendeta yang telah melaksanakan penyucian diri dengan diikuti oleh doa,
puja dan mantranya. Pemasangan siroswita merupakan anugrah dari Hyang Widhi
Wasa, telah mensucikan yang di upanayana itu secara lahir dan batin. Upacara
selanjutnya adalah Sembahyang. Persembahyangan dalam upacara Upanayana ini
mempergunakan sarana kwangen dengan sasari uang kepeng 11 buah, yang ditujukan
kehadapan 9 Dewa sebagai wujud Dewi saraswati (penguasa ilmu pengetahuan) yang
menguasai 9 penjuru mata angin (nawa dewata). Upacara persembahyangan,
bertujuan untuk mendekatkan diri dengan memohon agar Hyang Widhi Wasa yang
dipuja selalu dekat dan memberikan tuntunannya kepada yang di upanayana. Oleh
sebab itulah maka dalam pelaksanaan sembahyang, patut dilakukan dengan cakupan
tangan dari ke sepuluh jari secara rapat-rapat, sebagai simbolis pemusatan
antara Panca Budhindria dan Panca Karmendria, dengan memusatkan pikiran memuja
Beliau yang dihadirkan, untuk dipuja secara lahir dan batin.
Setelah Upacara persembahyangan
berakhir, dilanjutkan dengan upacara “matirta”, yang bertujuan untuk memohon
air suci/tirta kehadapan Hyang Widhi Wasa dan manifestasinya. Tirta adalah air
hening yang telah disucikan secara lahir dan batin. Secara lahir dalam proses
pembuatannya melalui “Ngukup”, yaitu dengan membakar beberapa sarana
pengukupan, yang asapnya diarahkan kedalam periuk tempat tirta itu nantinya ,
seperti berbagai wangi-wangian, asep, menyan dan lain sejenisnya, sehingga
tirta menjadi harum dan sedap, setelah itu secara batin dimohonkan oleh pendeta
dengan puja dan mantramnya, kehadapan Hyang Widhi Wasa supaya berkekuatan.
Tirta dipercikkan ke atas ubun-ubun sebanyak tiga kali, adalah untuk mensucikan
pikiran, perkataan dan perbuatan. Berikutnya dipercikkan 3 kali lagi adalah untuk
diminum, agar ditempati oleh Sang Hyang Dharma, dapat membuat ketenangan dunia
dan bertutur kata yang benar. Terakhir dipercikkan 3 kali lagi untuk mencuci
muka, bertujuan agar menjadi suci, mendapatkan ketenangan sehingga dapat
menyelesaikan semua pekerjaan dengan baik dan dapat menyeramakkan dharma.
Upacara metirta ini diakhiri dengan “mebija”. Bija adalah biji yang dimaksudkan
sabagai bibit anugrah Hyang Widhi Wasa, yang dibuat dari beras bercampur air
cendana, dimohon kehadapan Hyang Widhi Wasa, kemudian diberikan kepada yang di
upanayana untuk dilekatkan diantara kedua keningnya secara lahir dan dimakan
atau ditelan secara batin.
Rangkaian upacara selanjutnya
setelah natab, adalah “mapadamel”, yaitu dengan mohon sarana upakara berupa
“dodol maduparka”. Untuk dimakan atau ditelan. Dodol maduparka merupakan sarana
yang utama dalam upanayana itu yang bentuknya seperti “padma” yaitu simbolis
dari sthana Sang Hyang Widhi Aji Saraswati dalam diri manusia. Dengan masuknya
dodol maduparka ke dalam tubuh dari yang Upanayana itu, berarti Sang Hyang Aji
Saraswati sudah berada di dalam diri yang di upanayana. Dodol maduparka terbuat
dari 9 macam bahan, yang merupakan bahan hidangan dari Dewata Nawa sanga
seperti :
1. Empehan, adalah simbol serta
hidangan terhadap Dewa iswara
2. Air tebu atau Gula tebu, adalah
simbol serta hidangan terhadap Dewa Brahma
3. Punti sasih atau pisang emas
gading adalah simbol serta hidangan dari Dewa Mahadewa
4. Madu adalah simbol serta hidangan
terhadap Dewa Wisnu
5. Baem warak atau Cula badak dan
air adalah simbol serta hidangan terhadap Dewa Maheswara
6. Uyah Uku atau Garam adalah simbol
serta hidangan terhadap Dewa Rudra
7. Berem atau air Tape Injin adalah
simbol serta hidangan terhadap Dewa Sankara
8. Empol atau Kuwud atau buah ental
muda adalah simbol serta hidangan terhadap Dewa Sambbhu
9. Daun Abaas adalah simbol serta
hidangan terhadap Dewa Siwa.
Setelah semua rangkaian upacara
upanayana selesai dilaksanakan, maka untuk menenangkan dan menghayati semua
makna dan tujuan dari pelaksanaan semua jenis upacara-upacara tersebut, untuk
nantinya dapat dilanjutkan dengan pelaksanaan upacara “brata”, yaitu tidak
makan, minum dan tidur berturut-turut dari matahari terbit hingga terbenam.
Brata tersebut bermakna untuk mengendalikan diri terhadap pikiran, perkataan
dan perbuatan, agar mengarah pada hal-hal yang bersifat suci dan batin. Melalui
pelaksanaan brata, tuntunan-tuntunan yang telah didapatkan dapat lebih
ditingkatkan untuk menghayati dan mengamalkan swadharmanya. Dalam tuntunan
pustaka suci Sarasamuccaya dalam sloka 306 yang berbunyi sebagai berikut:
“Kunang laksana sang sadhu, tan
agirang yan inalem, tan alara yan ininda, tan kataman krodha, pis aningun ujara
kenang parusa wacana, langgeng dhirahning manah nira”
“Adapun prilaku orang yang sadhu,
tidak gembira jika dipuji, jika dicela tidak sedih pun tidak marah, tidak akan
mengucapkan kata-kata kasar, sebaiknya selalu tetap teguh pikirannya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar