MODEL-MODEL KEPEMIMPINAN
Telah banyak pemikiran ahli-ahli manajemen mengenai model-model
kepemimpinan yang ada dalam literatur. Namun yang paling umum kita jumpai dalam
keseharian kita diantaranya adalah:
A. Model Watak Kepemimpinan (Traits
Model of Leadership)
Pada umumnya studi-studi kepemimpinan pada tahap awal
mencoba meneliti tentang watak individu yang melekat pada diri para pemimpin,
seperti misalnya: kecerdasan, kejujuran, kematangan, ketegasan, kecakapan
berbicara, kesupelan dalam bergaul, status sosial ekonomi mereka dan lain-lain
(Bass 1960, Stogdill 1974). Stogdill (1974) menyatakan bahwa terdapat enam
kategori faktor pribadi yang membedakan antara pemimpin dan pengikut, yaitu
kapasitas, prestasi, tanggung jawab, partisipasi, status dan situasi. Namun
demikian banyak studi yang menunjukkan bahwa faktor-faktor yang membedakan
antara pemimpin dan pengikut dalam satu studi tidak konsisten dan tidak
didukung dengan hasil-hasil studi yang lain. Disamping itu, watak pribadi
bukanlah faktor yang dominant dalam menentukan keberhasilan kinerja manajerial
para pemimpin. Hingga tahun 1950-an, lebih dari 100 studi yang telah dilakukan
untuk mengidentifikasi watak atau sifat personal yang dibutuhkan oleh pemimpin
yang baik, dan dari studi-studi tersebut dinyatakan bahwa hubungan antara
karakteristik watak dengan efektifitas kepemimpinan, walaupun positif, tetapi
tingkat signifikasinya sangat rendah (Stogdill 1970). Bukti-bukti yang ada
menyarankan bahwa “leadership is a relation that exists between persons in a
social situation, and that persons who are leaders in one situation may not
necessarily be leaders in other situation” (Stogdill 1970). Apabila
kepemimpinan didasarkan pada faktor situasi, maka pengaruh watak yang dimiliki
oleh para pemimpin mempunyai pengaruh yang tidak signifikan. Kegagalan
studi-studi tentang kepimpinan pada periode awal ini, yang tidak berhasil
meyakinkan adanya hubungan yang jelas antara watak pribadi pemimpin dan
kepemimpinan, membuat para peneliti untuk mencari faktor-faktor lain (selain
faktor watak), seperti misalnya faktor situasi, yang diharapkan dapat secara
jelas menerangkan perbedaan karakteristik antara pemimpin dan pengikut
B. Model Kepemimpinan Situasional
(Model of Situasional Leadership)
Model kepemimpinan situasional merupakan pengembangan model
watak kepemimpinan dengan fokus utama faktor situasi sebagai variabel penentu
kemampuan kepemimpinan. Studistudi tentang kepemimpinan situasional mencoba
mengidentifikasi karakteristik situasi atau keadaan sebagai faktor penentu
utama yang membuat seorang pemimpin berhasil melaksanakan tugas-tugas
organisasi secara efektif dan efisien. Dan juga model ini membahas aspek
kepemimpinan lebih berdasarkan fungsinya, bukan lagi hanya berdasarkan watak
kepribadian pemimpin. Hencley (1973) menyatakan bahwa faktor situasi lebih
menentukan keberhasilan seorang pemimpin dibandingkan dengan watak pribadinya.
Menurut pendekatan kepemimpinan situasional ini, seseorang bisa dianggap
sebagai pemimpin atau pengikut tergantung pada situasi atau keadaan yang
dihadapi. Banyak studi yang mencoba untuk mengidentifikasi karakteristik
situasi khusus yang bagaimana yang mempengaruhi kinerja para pemimpin. Hoy dan
Miskel (1987), misalnya, menyatakan bahwa terdapat empat faktor yang
mempengaruhi kinerja pemimpin, yaitu sifat struktural organisasi (structural
properties of the organisation), iklim atau lingkungan organisasi
(organisational climate), karakteristik tugas atau peran (role characteristics)
dan karakteristik bawahan (subordinate characteristics). Kajian model kepemimpinan
situasional lebih menjelaskan fenomena kepemimpinan dibandingkan dengan model
terdahulu. Namun demikian model ini masih dianggap belum memadai karena model
ini tidak dapat memprediksikan kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang
mana yang lebih efektif dalam situasi tertentu.
C.
Model
Pemimpin yang Efektif (Model of Effective Leaders)
Model kajian kepemimpinan ini memberikan informasi tentang
tipe-tipe tingkah laku (types of behaviours) para pemimpin yang efektif. Tingkah
laku para pemimpin dapat dikatagorikan menjadi dua dimensi, yaitu struktur
kelembagaan (initiating structure) dan konsiderasi (consideration). Dimensi
struktur kelembagaan menggambarkan sampai sejauh mana para pemimpin
mendefinisikan dan menyusun interaksi kelompok dalam rangka pencapaian tujuan
organisasi serta sampai sejauh mana para pemimpin mengorganisasikan
kegiatan-kegiatan kelompok mereka. Dimensi ini dikaitkan dengan usaha para
pemimpin mencapai tujuan organisasi. Dimensi konsiderasi menggambarkan sampai
sejauh mana tingkat hubungan kerja antara pemimpin dan bawahannya, dan sampai
sejauh mana pemimpin memperhatikan kebutuhan sosial dan emosi bagi bawahan
seperti misalnya kebutuhan akan pengakuan, kepuasan kerja dan penghargaan yang
mempengaruhi kinerja mereka dalam organisasi. Dimensi konsiderasi ini juga
dikaitkan dengan adanya pendekatan kepemimpinan yang mengutamakan komunikasi
dua arah, partisipasi dan hubungan manusiawi (human relations). Halpin (1966),
Blake and Mouton (1985) menyatakan bahwa tingkah laku pemimpin yang efektif
cenderung menunjukkan kinerja yang tinggi terhadap dua aspek di atas. Mereka
berpendapat bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang menata kelembagaan
organisasinya secara sangat terstruktur, dan mempunyai hubungan yang
persahabatan yang sangat baik, saling percaya, saling menghargai dan senantiasa
hangat dengan bawahannya. Secara ringkas, model kepemimpinan efektif ini
mendukung anggapan bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang dapat
menangani kedua aspek organisasi dan manusia sekaligus dalam organisasinya.
D.
Model
Kepemimpinan Kontingensi (Contingency Model)
Studi
kepemimpinan jenis ini memfokuskan perhatiannya pada kecocokan antara
karakteristik watak pribadi pemimpin, tingkah lakunya dan variabel-variabel
situasional. Kalau model kepemimpinan situasional berasumsi bahwa situasi yang
berbeda membutuhkan tipe kepemimpinan yang berbeda, maka model kepemimpinan
kontingensi memfokuskan perhatian yang lebih luas, yakni pada aspek-aspek
keterkaitan antara kondisi atau variabel situasional dengan watak atau tingkah
laku dan kriteria kinerja pemimpin (Hoy and Miskel 1987). Model kepemimpinan
Fiedler (1967) disebut sebagai model kontingensi karena model tersebut
beranggapan bahwa kontribusi pemimpin terhadap efektifitas kinerja kelompok
tergantung pada cara atau gaya kepemimpinan (leadership style) dan kesesuaian
situasi (the favourableness of the situation) yang dihadapinya. Menurut
Fiedler, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kesesuaian situasi dan ketiga
faktor ini selanjutnya mempengaruhi keefektifan pemimpin. Ketiga faktor
tersebut adalah
Ø hubungan antara pemimpin dan bawahan
(leader-member relations),
Ø struktur tugas (the task structure)
Ø kekuatan posisi (position power).
Hubungan
antara pemimpin dan bawahan menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin itu
dipercaya dan disukai oleh bawahan, dan kemauan bawahan untuk mengikuti
petunjuk pemimpin. Struktur tugas menjelaskan sampai sejauh mana tugas-tugas
dalam organisasi didefinisikan secara jelas dan sampai sejauh mana definisi
tugas-tugas tersebut dilengkapi dengan petunjuk yang rinci dan prosedur yang
baku. Kekuatan posisi menjelaskan sampai sejauh mana kekuatan atau kekuasaan
yang dimiliki oleh pemimpin karena posisinya diterapkan dalam organisasi untuk
menanamkan rasa memiliki akan arti penting dan nilai dari tugas-tugas mereka
masing-masing. Kekuatan posisi juga menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin
(misalnya) menggunakan otoritasnya dalam memberikan hukuman dan penghargaan,
promosi dan penurunan pangkat (demotions).Model kontingensi yang lain,
Path-Goal Theory, berpendapat bahwa efektifitas pemimpin ditentukan oleh
interaksi antara tingkah laku pemimpin dengan karakteristik situasi (House
1971). Menurut House, tingkah laku pemimpin dapat dikelompokkan dalam 4
kelompok:
Ø supportive leadership (menunjukkan
perhatian terhadap kesejahteraan bawahan dan menciptakan iklim kerja yang
bersahabat),
Ø directive leadership (mengarahkan
bawahan untuk bekerja sesuai dengan peraturan, prosedur dan petunjuk yang ada),
Ø participative leadership (konsultasi
dengan bawahan dalam pengambilan keputusan)
Ø achievement-oriented leadership
(menentukan tujuan organisasi yang menantang dan menekankan perlunya kinerja
yang memuaskan).
Menurut
Path-Goal Theory, dua variabel situasi yang sangat menentukan efektifitas
pemimpin adalah karakteristik pribadi para bawahan/karyawan dan lingkungan
internal organisasi seperti misalnya peraturan dan prosedur yang ada. Walaupun
model kepemimpinan kontingensi dianggap lebih sempurna dibandingkan modelmodel
sebelumnya dalam memahami aspek kepemimpinan dalam organisasi, namun demikian
model ini belum dapat menghasilkan klarifikasi yang jelas tentang kombinasi
yang paling efektif antara karakteristik pribadi, tingkah laku pemimpin dan
variabel situasional.
E. Model Kepemimpinan Transformasional
(Model of Transformational Leadership)
Model
kepemimpinan transformasional merupakan model yang relatif baru dalam
studi-studi kepemimpinan. Burns (1978) merupakan salah satu penggagas yang
secara eksplisit mendefinisikan kepemimpinan transformasional. Menurutnya,
untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang model kepemimpinan
transformasional, model ini perlu dipertentangkan dengan model kepemimpinan
transaksional. Kepemimpinan transaksional didasarkan pada otoritas birokrasi
dan legitimasi di dalam organisasi. Pemimpin transaksional pada hakekatnya
menekankan bahwa seorang pemimpin perlu menentukan apa yang perlu dilakukan
para bawahannya untuk mencapai tujuan organisasi. Disamping itu, pemimpin transaksional
cenderung memfokuskan diri pada penyelesaian tugas-tugas organisasi. Untuk
memotivasi agar bawahan melakukan tanggungjawab mereka, para pemimpin
transaksional sangat mengandalkan pada sistem pemberian penghargaan dan hukuman
kepada bawahannya. Sebaliknya, Burns menyatakan bahwa model kepemimpinan
transformasional pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu memotivasi
para bawahannya untuk melakukan tanggungjawab mereka lebih dari yang mereka
harapkan.
Pemimpin
transformasional harus mampu mendefinisikan, mengkomunikasikan dan
mengartikulasikan visi organisasi, dan bawahan harus menerima dan mengakui
kredibilitas pemimpinnya.Hater dan Bass (1988) menyatakan bahwa “the dynamic of
transformational leadership involve strong personal identification with the
leader, joining in a shared vision of the future, or goingbeyond the
self-interest exchange of rewards for compliance”. Dengan demikian, pemimpin
transformasional merupakan pemimpin yang karismatik dan mempunyai peran sentral
dan strategis dalam membawa organisasi mencapai tujuannya. Pemimpin
transformasional juga harus mempunyai kemampuan untuk menyamakan visi masa
depan dengan bawahannya, serta mempertinggi kebutuhan bawahan pada tingkat yang
lebih tinggi dari pada apa yang mereka butuhkan. Menurut Yammarino dan Bass
(1990), pemimpin transformasional harus mampu membujuk para bawahannya
melakukan tugas-tugas mereka melebihi kepentingan mereka sendiri demi
kepentingan organisasi yang lebih besar. Yammarino dan Bass (1990) juga
menyatakan bahwa pemimpin transformasional mengartikulasikan visi masa depan
organisasi yang realistik, menstimulasi bawahan dengan cara yang intelektual,
dan menaruh parhatian pada perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh bawahannya.
Dengan demikian, seperti yang diungkapkan oleh Tichy and Devanna (1990),
keberadaan para pemimpin transformasional mempunyai efek transformasi baik pada
tingkat organisasi maupun pada tingkat individu. Dalam buku mereka yang
berjudul “Improving Organizational Effectiveness through Transformational
Leadership”, Bass dan Avolio (1994) mengemukakan bahwa kepemimpinan
transformasional mempunyai empat dimensi yang disebutnya sebagai “the Four
I’s”. Dimensi yang pertama disebutnya sebagai idealized influence (pengaruh
ideal). Dimensi yang pertama ini digambarkan sebagai perilaku pemimpin yang
membuat para pengikutnya mengagumi, menghormati dan sekaligus mempercayainya.
Dimensi yang kedua disebut sebagai inspirational motivation (motivasi
inspirasi). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai
pemimpin yang mampu mengartikulasikan pengharapan yang jelas terhadap prestasi
bawahan, mendemonstrasikan komitmennya terhadap seluruh tujuan organisasi, dan
mampu menggugah spirit tim dalam organisasi melalui penumbuhan entusiasme dan
optimisme. Dimensi yang ketiga disebut sebagai intellectual stimulation
(stimulasi intelektual). Pemimpin transformasional harus mampu menumbuhkan
ide-ide baru, memberikan solusi yang kreatif terhadap permasalahan-permasalahan
yang dihadapi bawahan, dan memberikan motivasi kepada bawahan untuk mencari
pendekatan-pendekatan yang baru dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi.
Dimensi yang terakhir disebut sebagai individualized consideration (konsiderasi
individu).
Dalam
dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai seorang pemimpin
yang mau mendengarkan dengan penuh perhatian masukan-masukan bawahan dan secara
khusus mau memperhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahan akan pengembangan karir.
Walaupun penelitian mengenai model transformasional ini termasuk relatif baru,
beberapa hasil penelitian mendukung validitas keempat dimensi yang dipaparkan
oleh Bass dan Avilio di atas. Banyak peneliti dan praktisi manajemen yang
sepakat bahwa model kepemimpinan transformasional merupakan konsep kepemimpinan
yang terbaik dalam menguraikan karakteristik pemimpin (Sarros dan Butchatsky
1996). Konsep kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang
dikembangkan dalam pendekatan-pendekatan watak (trait), gaya (style) dan
kontingensi, dan juga konsep kepemimpinan transformasional menggabungkan dan
menyempurnakan konsep-konsep terdahulu yang dikembangkan oleh ahli-ahli
sosiologi (seperti misalnya Weber 1947) dan ahli-ahli politik (seperti misalnya
Burns 1978). Beberapa ahli manajemen menjelaskan konsep-konsep kepimimpinan
yang mirip dengan kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan yang
karismatik, inspirasional dan yang mempunyai visi (visionary). Meskipun
terminologi yang digunakan berbeda, namun fenomena-fenomana kepemimpinan yang
digambarkan dalam konsep-konsep tersebut lebih banyak persamaannya daripada
perbedaannya. Bryman (1992) menyebut kepemimpinan transformasional sebagai
kepemimpinan baru (the new leadership), sedangkan Sarros dan Butchatsky (1996)
menyebutnya sebagai pemimpin penerobos (breakthrough leadership). Disebut
sebagai penerobos karena pemimpim semacam ini mempunyai kemampuan untuk membawa
perubahan-perubahan yang sangat besar terhadap individu-individu maupun
organisasi dengan jalan: memperbaiki kembali (reinvent) karakter diri individu-individu
dalam organisasi ataupun perbaikan organisasi, memulai proses penciptaan
inovasi, meninjau kembali struktur, proses dan nilai-nilai organisasi agar
lebih baik dan lebih relevan, dengan cara-cara yang menarik dan menantang bagi
semua pihak yang terlibat, dan mencoba untuk merealisasikan tujuan-tujuan
organisasi yang selama ini dianggap tidak mungkin dilaksanakan. Pemimpin
penerobos memahami pentingnya perubahan-perubahan yang mendasar dan besar dalam
kehidupan dan pekerjaan mereka dalam mencapai hasil-hasil yang diinginkannya.
Pemimpin penerobos mempunyai pemikiran yang metanoiac, dan dengan bekal
pemikiran ini sang pemimpin mampu menciptakan pergesaran paradigma untuk
mengembangkan praktekpraktekorganisasi yang sekarang dengan yang lebih baru dan
lebih relevan. Metanoia berasaldari kata Yunani meta yang berarti perubahan,
dan nous/noos yang berarti pikiran. Dengan perkembangan globalisasi ekonomi
yang makin nyata, kondisi di berbagai pasar dunia makin ditandai dengan
kompetisi yang sangat tinggi (hyper-competition). Tiap keunggulan daya saing
perusahaan yang terlibat dalam permainan global (global game) menjadi bersifat
sementara (transitory). Oleh karena itu, perusahaan sebagai pemain dalam
permainan global harus terus menerus mentransformasi seluruh aspek manajemen
internal perusahaan agar selalu relevan dengan kondisi persaingan baru.
Pemimpin transformasional dianggap sebagai model pemimpin yang tepat dan yang
mampu untuk terus-menerus meningkatkan efisiensi, produktifitas, dan inovasi
usaha guna meningkatkan daya saing dalam dunia yang lebih bersaing.
Selain
Model-model diatas masih ada beberapa tipe kepemimpinan yang ada saat ini,
yaitu:
a. Tipe instruktif,
a. Tipe instruktif,
tipe
ini ditandai dengan adanya komunikasi satu arah. Pemimpin membatasi peran
bawahan dan menunjukkan kepada bawahan apa, kapan, di mana, bagaimana sesuatu
tugas harus dilaksanakan. Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan
semata-mata menjadi wewenang pemimpin, yang kemudian diumumkan kepada para
bawahan. Pelaksanaan pekerjaan diawasi secara ketat oleh pemimpin.
Ciri-cirinya ;
Ø Pemimpin memberikan pengarahan
tinggi dan rendah dukungan.
Ø Pemimpin memberikan batasan peranan
bawahan.
Ø Pemimpin memberitahukan bawahan
tentang apa, bilamana, dimana, dan bagaimana bawahan melaksanakan tugasnya.
Ø Inisiatif pemecahan masalah dan
pengambilan keputusan semata-mata dilakuakn oleh pemimpin.
Ø Pemecahan masalah dan pengambilan
keputusan diumumkan oleh pemimpin, dan pelaksanaannya diawasi secara ketat oleh
pemimpin
b. tipe konsultatif
Kepemimpinan
tipe ini masih memberikan instruksi yang cukup besar serta penetapan
keputusan-keputusan dilakukan oleh pemimpin. Bedanya adalah bahwa tipe
konsultatif ini menggunakan komunikasi dua arah dan memberikan suportif
terhadap bawahan mendengar keluhan dan perasaan bawahan tentang keputusan yang
diambil. Sementara bantuan ditingkatkan, pengawasan atas pelaksanaan keputusan
tetap pada pemimpin.
Ciri-cirinya :
Ø Pemimpin memberikan baik pengarahan
maupun dukungan tinggi.
Ø Pemimpin mengadakan komunikasi dua
arah dan berusaha mendengarkan perasaan, gagasan, dan saran bawahan.
Ø Pengawasan dan pengambilan keputusan
tetap pada pemimpin.
c. tipe partisipatif,
sebab
kontrol atas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan seimbang antara
pemimpin dan bawahan, pemimpin dan bawahan sama-sama terlibat dalam pemecahan
masalah dan pengambilan keputusan. Komunikasi dua arah makin bertambah
frekuensinya, pemimpin makin mendengarkan secara intensif terhadap bawahannya.
Keikutsertaan bawahan untuk memecahkan masalah dan mengambil keputusan makin
banyak, sebab pemimpin berpendapat bahwa bawahan telah memiliki kecakapan dan
pengetahuan yang cukup luas untuk menyelesaikan tugas.
Ciri-cirinya :
Ø Pemimpin memberikan dukungan tinggi
dan sedikit/rendah pengarahan.
Ø Posisi kontrol atas pemecahan masalah
dan pengambilan keputusan dipegang secara berganti antara pemimpin dan bawahan.
Ø Komunikasi dua arah ditingkatkan.
Ø Pemimpin mendengarkan bawahan secara
aktif.
Ø Tanggung jawab pemecahan masalah dan
pengambilan keputusan sebagian besar pada bawahan.
d. tipe delegatif,
sebab
pemimpin mendiskusikan masalah-masalah yrng dihadapi dengan para bawahan dan
selanjutnya mendelegasikan pengambilan keputusan seluruhnya kepada bawahan. Selanjutnya
menjadi hak bawahan untuk menentuykan bagaimana pekerjaan harus diselesaikan.
Dengan demikian bawahan diperkenankan untuk menyelesaikan tugas-tugas sesuai
dengan keputusannya sendiri sebab mereka telah dianggap memiliki kecakapan dan
dapat dipercaya untuk memikul tanggung jawab untuk mengarahkan dan mengelola
dirinya sendiri.
Ciri-cirinya :
Ø Pemimpin memberikan maupun
pengarahan sedikit/rendah.
Ø Peminpin mendiskusikan masalah
bersama-sama dengan bawahan sehingga tercapai kesepakatan tentang definisi
masalah yang dihadapi
Ø Pengambilan keputusan didelegasikan
sepenuhnya kepada bawahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar