NI DYAH TANTRI DALAM TANTRI CARITA
Kajian Feminisme
Ida Bagus Purnawan
1. Pendahuluan
Tantri Carita merupakan ceritera rakyat (folklor)
yang berkembang pesat di Bali, baik sebagai teks maupun konteks. Tantri
Carita sebagai teks dikaji, antara lain Suarka dalam bentuk disertasi
yang sudah diterbitkan menjadi buku Tantri (2007), Sukarma (2008)
menulis Ni Dyah Tantri sebagai retorika dalam Jurnal Dharma Smerrthi,
dan Budi Utama menulis dalam jurnal yang sama dengan judul Tantrayana
dalam Tantri: kuasa, pengetahuan, dan seksualitas (2008).
Tantri Carita menjadi konteks tradisi Bali digunakan dalam rangka upacara yadnya, yaitu lebih dikenal dengan nantri.
Dalam dunia praksis bergama Hindu di Bali, bahkan kakawin Tantri dapat
disejajarkan dengan Kakawin Arjuna Wiwaha, Ramayana, dan Mahabharata
karena ketiganya disenandungkan secara bergantian pada saat upacara
agama berlangsung.
Dalam
Tantri Carita dijelaskan bahwa Ni Dyah Tantri dan wanita lainnya di
Kerajaan Patali mendapat perlakukan yang tidak manusiawi. Mengingat raja
membutuhkan seorang wanita setiap malam untuk memuaskan nafsu
birahinya. Sebaliknya, juga di Bali terdapat kepercayaan kepada
Tantrayana yang lebih memosisikan wanita lebih aktif daripada pria,
seperti dijelaskan dalam konsep ardanareswari, purusa-predana, siwa-durga. Predana dan durga dijelaskan menjadi aspektif dari purusa dan siwa, tanpa aspek sakti ini kosmologi tidak lagi berjalan dalam kehidupannya.
Ini
alasan menarik untuk mengkaji Ni Dyah Tantri dalam sebuah kajian
fenisme, selain karena feminisme tidak banyak dibahas, baik dalam mimbar
akademik maupun dalam kehidupan sosial masyarakat Bali. Mengingat
feminisme lebih banyak bergema di dunia-Barat yang memang memiliki
kecenderungan menganut ideologi fatherisme, seperti fatherland.
Hal ini ditunjukkan oleh semakin melemahnya makna mothering,
sebagaimana digugat Yulia Cristeva (2002) dan lebih lanjut dieksplor
Hidayat (2004).
2. Sinopsis Tatri Carita
Tantri
Carita berkisah tentang seorang raja di kerajaan Patali, Sri Maharaja
Aiswarya Dala. Seorang raja yang berkeinginan menikmati kesenangan
duniawi, kenikmatan hubungan seksual melebihi kesenangan orang pada
umumnya. Untuk itu sang raja memerintahkan Rakian Patih Bandeswara
menghaturkan dara perawan setiap malam lengkap dengan upacara samskara
wiwaha sebagai pemenuhan kenikmatan asmara. Hari demi hari terlewati,
bulan pun berganti tahun. Kebingungan dan kesedihan mendalam menimpa
Rakian Patih Bandeswara karena tidak bisa mempersembahkan dara perawan.
Di wilayah kerajaan Patali para gadisnya sudah habis dipersembahkan
setiap malam kepada sang raja. Ketakutannya semakin memuncak ketika ia
sadar bahwa yang tersisa hanya seorang dara perawan saja, itupun anaknya
sendiri yang bernama Ni Diah Tantri. Akan tetapi, sebagai anak suputra
sadhu gunawan, Ni Dyah Tantri menyadari masalah yang dihadapi
ayahandanya sehingga bersedia menyerahkan dirinya kepada baginda raja.
Penyerahan diri ini dilandasi oleh tekad untuk menyadarkan Sang Raja
dari kegelapan asmara duniawi sehingga negara terbebas dari penderitaan.
Ia bertekad memberikan penjernihan pikiran dan pencerahan keyakinan
kepada Sang Raja yang dalam kegelapan nafsu sehingga membuat rakyat
menderita.
Diceriterakan
Ni Diah Tantri bersama Baginda Raja di pelaminan. Atas permintaan sang
raja iapun berceritera seputar sloka Tantri karangan Rsi Bhasubhaga yang
berjudul Nandhaka Harana tentang smara dhahana ketika burung Garuda
menghadap Dewa Wisnu. Selain itu, juga ceritera tentang penciptaan alam
semesta, Bhagawan Wasistha yang menerima anugerah lembu betina bernama
Nandini; pendeta miskin Sri Dharma Swami yang mendapat pahala brata
berupa lembu jantan Nandaka; dan perjalanan lembu Nandhaka yang akhirnya
bersahabat dengan Sri Singhadipati. Selanjutnya, ia menceritakan
ceritera berangkai tentang Prabu Gaja Druma yang kurang wiweka memilih
Patih dan ceritera Bhagawan Sri Yadnya Dharma Swami.
Singkat
ceritera, Sang Raja Aiswarya Dala mengagumi kepandaian Ni Diah Tantri
berceritera. Sang raja berkata, “pantaslah para bhiksuka memberimu nama
Ni Diah Tantri”. Melayang-layang perasaan Sang Raja, rasanya melintas di
jagatraya, dan rasanya tiada lagi istri lain karena yang melintas
dibenaknya hanya Ni Diah Tantri. Rasa bahagia ini juga dirasakan oleh
penghuni kraton, apalagi Rakian Patih Bandeswara bagaikan dapat
menemukan alam surga karena sebentar lagi anaknya, Ni Diah Tantri akan
menjadi permaisuri kerajaan Patali.
3. Banalitas Seksual: Kontradiksi Peradaban
Ketaksinkronan
cara hidup Sang Raja dengan cara hidup masyarakatnya yang ditunjukkan
oleh ketaklaziman perilaku seksualnya berdasarkan kode budaya dapat
dikategorikan sebagai ketidakwarasan atau keabnormalan. Akan tetapi,
kegilaan Sang Raja pada perawan, yang tidak konvesional merupakan
tegangan yang telah mendorong hadirnya peran Ni Dyah Tantri sebagai
kewarasan dan kenormalan yang konvensional. Ini bermula dari peran Ki
Patih sebagai intrumen intelektual yang dibodohkan menjadi alat pemuas
nafsu kegilaan Sang Raja. Ki Patih tidak dapat berbuat lain, kecuali
patuh dan memenuhi keinginan Sang Raja. Selama persediaan perawan dalam
gudang Patali masih memadai dan selama itu tidak terjadi permasalahan
sehingga Ki Patih pun tetap berperan pintar dalam kebodohannya. Peran
ini pun berjalan aman dan lancar karena Ki Patih belum ketiban
“batunya”. Persoalan mulai muncul ketika stok gadis persembahan telah
mencapai titik kering-kerontang, apalagi yang tersisa hanya satu-satunya
perawan dan itu pun milik Ki Patih sendiri. Di atas persoalan inilah Ki
Patih berperan sebaliknya, menjadi bodoh dalam kepintarannya sehingga
terpaksa menghadirkan tokoh Ni Dyah Tantri.
Menghadirkan
kembali Ni Dyah Tantri berdasarkan kontras antara peradaban modern dan
pramodern pada dasarnya merupakan upaya menempatkan konvensi-konvensi
budaya di antara kewarasan dan kegilaan. Berdasarkan gagasan budaya
modern bahwa kebenaran adalah kewarasan yang rasional dan konsensus yang
koheren sehingga untuk sampai pada tegangan kausalnya dapat dibangun
seting peran para aktor Tantri Carita sebagai berikut. Pertama, peran
Sang Raja yang gila kenikmatan seksual dapat dilihat sebagai kegilaan
permainan nafsu inderawi dan kekuasaan sehingga Sang Raja mampu menjadi
manipulator budaya masyarakatnya. Permainan ini juga tidak lepas dari
konsep dewa-raja bahwa raja adalah titisan dewa sehingga segala
ucapannya adalah kata-kata kebenaran yang harus dipatuhi. Konvensi
budaya diletakkan pada rasionalitas nafsu dan kekuasaan sehingga memaksa
kehadiran peran tokoh lain, peran intelektual, Rakian Patih Bandeswara.
Kedua, peran Ki Patih juga tidak jauh dari permainan ini, bahkan
sekaligus menjadi instrumen bagi permainan itu sendiri. Pada mulanya
memang peran Ki Patih tidak lebih dari sekadar alat pemuas
nafsu-kekuasaan Sang Raja belaka, walaupun akhirnya ia terlibat langsung
dalam permainan itu. Kedua tokoh ini dengan mudah mempermainkan
realitas dunia kehidupan manusia atas kemauan dan kemampuan rasionalitas
yang melekat padanya karena permainan antara nafsu, kekuasaan, dan
intektual pada dasarnya merupakan “permainan bahasa” dalam khazanah
peradaban dusta. Pada tataran ini peran kedua tokoh ini dapat
dikategorikan sebagai yang “gila”; walaupun Ki Patih karena hanya alat
demi berjalannya permainan sehingga tidak sepenuhnya harus menerima
penilaian ini. Sampai di sini Ki Patih telah berhasil memainkan konvensi
budaya hingga akhirnya ia harus menghadapi kenyataan bahwa putrinya, Ni
Dyah Tantri merupakan gadis satu-satunya di kerajaan Patali yang harus
dipersembahkan kepada Sang Raja.
4. Perebutan Feminisme Ni Dyah Tantri
Ketegangan
Ki Patih ini, antara peran yang dimainkan dan kenyataan kehidupan yang
dijalaninya kemudian, Ni Dyah Tantri dihadirkan untuk mengatasi
ambiguitas realitas dunia kehidupan manusia. Di sini peran Ki Patih
telah berubah dari instrumen menjadi penikmat. Pada peran yang pertama
jiwanya sama sekali tidak terpengaruh dan terbebas dari akibat,
sedangkan pada peran yang kedua jiwanya sangat terpengaruh dan tidak
bebas dari akibat (sehingga ia bersedih dan kebingungan karena anaknya
harus menjadi barang persembahan). Pada peran yang pertama, Ki Patih
hanyalah berfungsi sebagai instrumen bagi permainan nafsu-asmara Sang
Raja sehingga fungsinya ini lebih sebagai pengabdian daripada peran
sebagai ayah. Akan tetapi, berbeda dengan peran yang kedua, Ki Patih
benar-benar telah menjadi bagian internal dari seluruh permainan itu
sehingga fungsinya berubah menjadi peranan yang berimplikasi pada
kegelisahan jiwanya. Pada peranannya ini, Ki Patih telah menikmati
permainan kehidupan manusia berdasarkan konvensi budaya yang sulit
dimanipulasinya karena jiwanya terlibat secara langsung dalam permainan.
Ia tidak tega mempersembahakan anaknya karena ia tahu nasib yang akan
menimpa anaknya, bila dipersembahkan kepada Sang Raja. Ia marah kepada
Sang Raja, tetapi tidak mungkin menampakkannya. Ia benci kepada Sang
Raja, tetapi tidak mungkin menunjukkannya. Perasaan cinta kepada Sang
Raja dan cintanya kepada anaknya dipertarungkan karena harus ada
pemenang. Menolak menghaturkan anaknya kepada Sang Raja, sama saja
bertindak murtad terhadap junjungan dan mati adalah hukumannya.
Sebaliknya, menghaturkan anak kepada Sang Raja sama saja telah membunuh
anak tercinta sebelum dilahirkan. Rupanya dua jenis cinta berkecamuk di
hati Ki Patih yang telah membuatnya berada pada posisi sulit yang tidak
mungkin disampaikan kepada siapapun.
Dalam
situasi inilah Ki Patih kelimpungan, perutnya kesakitan karena
mual-mual, seperti pengantin wanita sedang ngidam, berasa ingin
muntah-muntah, tetapi dari mulutnya yang keluar hanyalah keluh-kesah dan
penyesalan yang amat mendalam. Oleh karena tidak bisa menahannya, ia
pun memuntahkan kemarahan dan kekesalan kepada dirinya sendiri.
Kepekaaan empati keluarga rupanya segera menjadi penawar sakit perut Ki
Patih. Istri Ki Patih misalnya, melalui satya pati brata memberikannya
kekuatan untuk menyadari kebodohan Ki Patih dalam kepintarannya
menjalankan loyalitas dalam peran-peran pengabdiannya kepada Sang Raja
dan Kerajaan Patali. Kemudian, anaknya atas dasar bhakti yang mendalam,
yang memang memiliki ketangguhan spiritual yang diekspresikan dalam
tata-laku sopan-santun segera melakukan tindakan penyelamatan.
Kebingungan dan ketersesatan Ki Patih dalam permainannya sendiri
terselamatkan oleh anaknya, Ni Dyah Tantri.
Pengalaman
Ki Patih telah menunjukkan bahwa dunia-hidup-manusia rupanya sarat
dengan kontradiktif norma dan nilai yang bukan saja hadir dari
pandangan-dunia yang berbeda, melainkan juga dari pandangan-dunia yang
sama. Setiap subjek (pelaku budaya) yang dibatasi struktur dan kultur
senantiasa menciptakan tatanan nilai baru. Nilai-nilai baru ini dibangun
berdasarkan kebutuhan dunia majinasi dan aktualnya yang selaras dengan
ketegangan yang dihadirkan melalui alur-alur konvensi yang keluar dari
tatanan normal dan rasional, anomali rasionalitas. Di antara
tegangan-tegangan ini peran Ni Dyah Tantri dibangun sebagai aktor yang
ketiga. Peran penyelaras kehidupan yang diliputi paradoksal nilai-nilai
dan kontradiktif norma-norma dalam dunia praksis. Jalan hidup memang
susah ditebak, tetapi pada tataran ini peran Ni Dyah Tantri dapat
diletakkan pada kesesuaian antara konvensi budaya dan tindakan rasional
sehingga ia termasuk ke dalam kategori sebagai yang “waras”. Malahan
dapat disebut superwaras karena niat dan hasratnya menjernihkan dan
mencerahkan Sang Raja demi mengatasi penderitaan rakyat. Ini merupakan
ide tentang superwaras sebagaimana gagasan yang idolakan oleh masyarakat
pramodern dan cita-cita luhur ini sejalan dengan etika sosial yang
dibangun dalam peradaban modern yang menempatkan pahlawan sebagai yang
“terhormat”.
Patut
dipahami bahwa posisi terhormat yang diraih Ni Dyah Tantri bukan hanya
karena kecantikan dan kecerdasannya memainkan kode-kode moral melalui
cerita berbingkai. Melainkan juga berdasarkan formasi wawasan yang
melampaui epistemologi konvensional sebagaimana yang dikenal dalam
rancang bangun pengetahuan, baik rasional dan empiris maupun kritis dan
intuitif. Ini merupakan tantangan baru bagi masyarakat modern yang
memiliki dua kebenaran. Pertama, kebenaran rasional, yakni kebenaran
logis dan dapat diterima akal sehat sehingga semua penjelasan yang masuk
akal itu benar, meskipun dasar pemikirannya tidak seluruhnya dapat
disetujui. Kedua, kebenaran empiris, yakni kebenaran merupakan
kesesuaian realitas sehingga kebenaran itu adalah kebenaran peristiwa,
pengalaman, perasaan, dan nafsu (Sumardjo, 2007:43). Meletakkan
kemasukakalan menjadi landasan ketakmasukakalan pengalaman batin
bukanlah permainan mudah, sebagaimana peran yang harus dimainkan Ni Dyah
Tantri. Meramu pengetahuan rasional dan empiris dalam bentuk
metaforisitas sebagai kondisi dasar antropologis bukan persoalan mudah,
tetapi Ni Dyah Tantri tidak begitu sulit mendemontrasikannya.
Pengetahuannya tentang kesatuan dan kesucian alam, keluhuran
persahabatan manusia, kehebatan persahabatan antara manusia dan
binatang, bahkan kemuliaan persahabatan binatang yang melebihi keluhuran
persabahatan manusia ini merupakan “permainan bahasa” yang mengatasi
Rasionalitas – Pikiran Objektif. Ini merupakan permainan akal-nalar,
yakni rasionalitas yang lepas dari bahasa, kultur, dan praktik-praktik
sosial sehingga meninggalkan cara kerja manas, ahamkara, dan buddhi
sebagaimana teladan yang ditunjukkan Samkhya-Yoga ataupun
Nyaya-Waisesika.
Kepiawaiannya
memainkan dawai-dawai sloka Tantri Carita seputar dunia kehidupan
binatang merupakan perpaduan permainan dari jenis-jenis pengetahuan yang
paling mungkin dikuasai manusia. Pengetahuan yang melampaui pengetahuan
rasional dan empiris, bahkan melampaui pemikiran kritis dan kebenaran
intuisi. Pengetahuan tentang dunia, hidup, dan manusia yang pada
dasarnya di luar kendali dan kontrol epistemologi konvesional sehingga
melampaui permainan nafsu, kekuasaan, dan intelektual. Ini merupakan ide
tentang Kesadaran Agung, yakni Kesadaran Kosmis. Kesadaran Subjektif
yang mengatasi pluktuasi-pluktuasi pikiran dan peran-peran dusta
peradaban mana pun. Dengannya Sang Raja harus tunduk dan takluk,
bertekuk lutut di sudut kerling “mata” Ni Dyah Tantri. Kerlingan “mata
batin”, Kesadaran Subjektif yang mengatasi Pikiran Objektif dan
Objek-Objek (nama-rupa inderawi) telah menggeser kepercayaan dan
keyakinan Sang Raja dan Ki Patih pada “pandangan-dunia baru”. “Pandangan
dunia” yang “kabur” dalam paradoks yang harmonis melalui penyatuan
alur-alur logika ke-Alam-an dan ke-Manusia-an serta ke-Binatang-an yang
senantiasa merujuk pada ke-Tuhan-an, Realitas Tertinggi. Dunia kehidupan
binatang telah menjadi medan pemahaman dunia kehidupan manusia,
sebagaimana dalam peradaban modern bahwa manusia lebih mudah menundukkan
alam dan binatang daripada dirinya sendiri. Walaupun demikian, Sang
Raja dan Ki Patih yang ditakluk-tundukan kemudian, melalui “upacara
perkawinan” mereka menjadi yang paling menikmati suka-cita kemenangan
permainan itu. Sebagaimana halnya manusia modern, sang pengubah yang
mengaku pencipta pada akhirnya, harus tunduk dan takluk pada kenyataan
dirinya, Alam.
5. Penutup
Feminisme
yang diagungkan dalam Tantrayana, ternyata menjadi barang rebutan,
bahkan dipertaruhkan dalam Tantri Carita. Kontras yang ditampilkan dalam
bentuk pergulatan rasionalitas dan moralitas ini rupanya, mengganggu
kemapanan kode budaya dan kode konvensional. Ni Dyah Tantri menjadi
barang rebutan, karena itu fenimisnya dilebur sedemikian banal,
dilecehkan hingga titik nadir yang paling rendah. Akan tetapi,
kepiawaian Ni Dyah Tantri menggunakan kode bahasa dapat mempermainkan
kode-kode budaya sehingga waktu semalaman dihabiskan bersama raja bukan
untuk memuaskan nafsu birahi raja, melainkan kode bahasa yang dimainkan
dapat menjadi penyelamat, bahkan menjadikan dirinya pramiswari. Ini
membuktikan bahwa kekuatan mempermainkan kode-kode bahasa dapat
menundukkan kode budaya, sebagaimana didemontransikan Ni Dyah Tantri
adalah kemenangan feminisme.
Daftar Kepustakaan
Apsanti. 2003. Bahasa Indonesia Cermin Buruknya Sikap Bangsa, dalam Kompas 14 Juli 2003.
Beilharz, Peter. 2003. Teori-Teori Sosial. Observasi Kritis terhadap Para Filosof Terkemuka. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Haryatmoko.2002. Kekuasaan Melahirkan Anti Kekuasaan. Menelanjangi Mekanisme dan Teknik Kekuasaan Bersama Foucault dalam Basis, Nomor 01-02.Tahun ke 51, Januari-Februari 2002.
Lubis, Akhyar Yusuf. 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern. Dari
Postmodernisme, Teori Kritis, Poskolonial hingga Cultural Studies. Jakarta : Pustaka Indonesia Satu.
Majumdar, R.C.1998. Ancient India. Delhi : Motilal Banarsidass Publishers Private Limited.
Mantra,
Ida Bagus. 2006. Peradaban Lembah Sungai Shindu pernah dimuat dalam
Majalah Kala Wrtta, No.6, th III, Nopember 1963, kini diterbitkan dalam
buku berjudul Menemui Diri Sendiri. Denpasar : Yayasan Dharma Sastra.
McCarthy, Thomas. 2006. Teori Kritis Jurgen Habermas. Yogyakarta : Kreasi Wacana.
Rabinow, Paul. 2002. Pengetahuan dan Metode Karya-Karya Penting Michel Faucault. Yogyakarta : Jalasutra.
Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Ricoeur, Paul. 2006. Hermeneutika Ilmu Sosial. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta : Kreasi Wacana.
Ritzer, George – Goodman, Douglas J. 2005.Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Prenada Media.
Robson,SO.1978. Pengkajian Sastra-sastra Tradisonal Indonesia, Bahasa dan Sastra, Tahun IV, Nomor 6.
Simon, Roger. 2004. Gagasan Gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Storey, John. 2004. Teori Budaya dan Budaya Pop. Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Sturrock,
John. 2004. Strukturalisme Post-strukturalisme dari Levi-Strauss sampai
Derrida, terjemahan dari Structuralism and Since. Surabaya : Jawa Post
Press.
Sugiono, Muhadi. 2006. Kritik Antonio Gramsci terhadap Pembangunan Dunia Ketiga. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta, Pustaka Jaya.
Tim Pengkajian Naskah Lontar. 2002. Kajian Naskah Lontar Siwagama. Denpasar : Dinas Kebudayaan Propinsi Bali.
nyritayang indik napi Tantri nandhaka harana?
BalasHapusa.manusa sakti
b.beburon mabatis pat
c.kedis
d.entik-entikan sarwa buah
klo sdh ada jawabannya jawab dengan baik y gaisss ����
terimakasih ��
kabaos napi tantri sane nyritayang indik kedis/paksi
BalasHapus