BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Manusia adalah makhluk yang tertinggi ciptaan Tuhan Yang Maha
Esa karena memiliki pikiran untuk dapat membedakan antara yang baik dan yang
buruk. Dengan dibekali pikiran maka dalam kehidupannya manusia harus mampu
mewujudkan hidup yang lebih baik dari pada sebelumnya. Untuk mewujudkan
kehidupan yang lebih baik, maka manusia tidak boleh punah. Oleh karena itu,
untuk terus dapat menjaga kelangsungan hidupnya maka manusia haruslah memiliki
keturunan. Agar memperoleh keturunan, seseorang diharuskan untuk menikah.
Karena dengan pernikahan akan memperoleh keturunan yang baik yang akan menolong
orang tua dari penderitaan, hal ini dalam Agama Hindu disebut dengan anak
Suputra.
Sebagai umat Hindu tentu kita sudah tidak asing lagi mendengar
istilah Anak Suputra, namun pernahkah kalian mendengar atau mungkin mengetahui
tentang adanya anak Astra. Mungkin di benak anda timbul berbagai macam
pertanyaan tentang adanya pernyataan tentang anak Astra. Bagaimana dan mengapa
seseorang bisa disebut Astra.
Asal mula Astra ini tidak dapat di pisahkan dari Wangsa, pada
zaman dahulu seseorang yang memiliki gelar atau wangsa adalah orang-orang yang
sangat di hormati, di puja, segala tindak tanduknya di benarkan meskipun dalam
banyak hal mereka terkadang memanfaatkan untuk memperoleh keuntungan sendiri.
Wangsa adalah salah satu cara untuk mempertahankan derajat dan martabat dalam
suatu keluarga yang merupakan staus quo yang diwariskan secara turun temurun.
Tidak dapat kita pungkiri bahwa di zaman dahulu derajat
seseorang di ukur berdasarkan dari wangsanya (kasta). Dan para perempuan di
zaman itu tidaklah di hargai seperti sekarang ini. Tidak ada yang namanya
kesetaraan gender. Laki-laki yang
memiliki kasta boleh hidup bersama dengan para perempuan dari golongan rendah
tanpa adanya upacara pernikahan yang sah. Dari hubungan ini maka perempuan akan
hamil dan anak dalam kandungan perempuan itu di sebut Anak Astra.
Astra berasal dari kata, Aas yang artinya bunga jatuh atau juga
putus. Sedangkan Tra berasal dari kata tereh/trah yang memiliki arti keturunan.
Jadi Astra memiliki pengertian bahwa keturunan yang gugur untuk menyandang
predikat wangsa. Sedangkan apabila dia anak tersebut lahir tidak dari keluarga
Wangsa, maka anak itu disebut dengan nama Nyame
cerikan. (artha, 2003 : 6)
Sebagai seorang manusia anak Astra dalam hidupnya mengalami
berbagai macam tahapan. Tahapan-tahapan itu akan membuat anak tersebut menjadi
pribadi yang matang. Untuk dapat mengetahui sejauh mana perkembangan pribadi
anak tersebut maka dapat kita lakukan melalui pendekatan Psikologi Agama.
Mengapa penulis menggunakan Psikologi Agama? Karena sebutan anak Astra hanya
digunakan oleh umat Hindu.
Sebelum masuk lebih jauh, ada baiknya kita mengetahui apa yang
dimaksud dengan Psikologi Agama. Psikologi Agama terbagi atas dua kata yaitu
“Psikologi” dan “Agama”. Kata Psikologi secara umum memiliki arti suatu ilmu
yang mempelajari tentang tingkah laku dan pengalaman manusia, yang tujuan
utamanya adalah mengungkapkan faktor-faktor yang berpengaruh pada prilaku
manusia. Sedangkan Agama memegang peran penting dalam kehidupan manusia. Agama
adalah kepercayaan kepada Tuhan serta segala sesuatu yang terkait dengan
anjuran-Nya sehingga dapat memberikan rasa aman dan memiliki ketetapan hati
dalam menghadapi hidup. Jadi Psikologi Agama adalah cabang psikologi yang
menyelidiki sebab-sebab dan ciri psikologi dan sikap-sikap yang religius atau
perjalanan religius dan berbagai fenomena dalam individu yang muncul dari atau
menyertai sikap dan pengalaman. (Suasthi & Suastawa, 2008 :3)
1.2
Rumusan
Masalah
Dari pemaparan diatas
maka penulis dapat mengangkat sebuah permasalahan sebagai berikut :
1.2.1 Apakah ada pengaruhnya lingkungan terhadap
perkembang psikologi dari seorang anak Astra?
1.3
Tujuan
Penulisan
Segala sesuatu yang terdapt di dunia ini tentunya memiliki
tujuan masing-masing dari sang pencipta. Begitu pula dengan makalah ini, yang
memiliki tujuan agar para pembaca mengetahui pengaruh lingkungan yang seperti
apa yang mempengaruhi perkembangan psikologi seorang anak Astra dalam
kehidupannya.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Lahirnya
Anak Astra atau Nyame Cerikan di
Masyarakat
Seperti yang dijelaskan di atas bahwa pada
zaman dahulu menyandang predikat Astra merupakan sesuatu yang benar-benar
memalukan atau sangatlah hina. Apalagi masyarakat pada saat itu tidaklah
terlalu mementingkan pendidikan sehingga mereka tidak ada yang memberikan
dukungan pada sang Anak Astra tetapi malahan semakin mengucilkan.
Ada
beberapa hal yang menjadi penyebab seorang anak dapat dikatakan sebagai anak
astra, sebab-sebab itu antara lain :
a.
Lahir
tanpa upacara perkawinan
Perkawinan merupakan sesuatu yang sakral oleh karena itu semua
orang berharap menikah sekali seumur hidup kemudian sampai akhir hayat bersama
orang yang disayangi. Perkawinan tidak hanya untuk seorang laki-laki dan
perempuan, tetapi merupakan penyatuan dua buah keluarga besar. Restu dari keluarga
merupakan hal yang sangat penting. Begitu pula dalam hal ini, restu keluarga
besar dari penyandang predikat wangsa sangat penting boleh tidaknya perempuan
itu dijadikan istri apalagi sang perempuan tidak memiliki kasta, tidak memiliki
rumah atau sanak saudara. Tetapi mereka di perbolehkan tinggal serumah hingga
memiliki anak hingga 2 atau 3. Lambat laun hal ini menjadi perhatian keluarga
hingga akhirnya mereka di nikahkan dengan ritual keagamaan. Jika ada anak yang
lahir setelah itu maka anak tersebut akan menyandang nama wangsa bapaknya,
sementara kakak-kakanya tidak.
b.
Diduga
Hamil Duluan Saat Upacara Perkawinan
Penyebab anak yang lahir diberi predikat Astra adalah apabila
seorang anak yang lahir secara normal dari rahim ibunya belum genap hitungan
sembilan bulan sejak hari pernikahan. Meski telah di upacarakan secara
adat-istiadat namun tidak boleh menyandang predikat wangsa.
Kalau kalangan Wangsa melahirkan Astra, di kalangan umat Hindu
yang bukan menyandang Wangsa-pun banyak mempunyai keturunan yang bukan melalui
proses adat, tradisi dan budaya. Dan para keturunannya di beri predikat Nyame Cerikan. Sementara anak dari orang
tuanya yang lahir dari proses adatistiadat di sebut Nyame Tigehan atau Nyame
Kelihan.
Apabila si-Nyame Cerikan meninggal dunia, maka
semua anggota masyarakat yang tergolong Nyame
Tigehan tidak akan memikul mayatnya. Tetapi apabila si-Nyame Tigehan meninggal dunia, adalah merupakan kewajiban bagi si-Nyame Cerikan untuk memikul mayatnya, (Hindu-Lombok). (Artha
, 2003 : 7)
2.2
Pengaruh Lingkungan Terhadap Psikologi Anak Astra atau Nyame Cerikan
Penjelasan diatas menunjukkan bahwa segala sesuatu di timpakan
pada anak Astra atau Nyame Cerikan,
padahal jika kita tanyakan pada mereka tentunya mereka juga tak ingin di
lahirkan seperti itu.
Astra tidak selamanya berarti buruk. Hal ini sangat berkaitan
dengan siapa penyandang predikat itu ketimbang, predikat apa yang disandangnya.
Menyandang predikat Astra atau Nyame
Cerikan sesungguhnya bukan masalah, justru yang menjadi masalah adalah
orang-orang yang mempermasahkannya.
Bukankah di Hindu kita di ajarkan tentang Tat Twam Asi yang
memiliki arti Kau adalah Aku. Lalu dimanakah implementasi dari Tat Twam Asi
dalam persoalan Anak Astra atau Nyame
Cerikan ini?
Implementasinya tentu saja ada hanya saja orang-orang lebih
banyak yang serakah yang lebih mengedepankan ego atau rasa ke-Aku-an mereka
sendiri. Sehingga hal ini terus menerus berlangsung, dan yang lebih menyedihkan
lagi mereka berbuat seolah-olah bahwa hal ini memang telah tertulis dalam
Sastra Suci Hindu.
Padahal hal tersebut tidak pernah sama sekali tertuang dalam
Sastra Suci Hindu manapun. Itu hanya di kembangkan bagi orang-orang yang ingin
mempertahankan Status Quo.
Oleh sebab itu adalah merupakan kewajiban umat sedharma terlebih
lagi bagi kita yang merupakan ujung tombak generasi penerus Hindu untuk sekuat
tenaga berupaya meluruskan hal-hal yang bengkok dan menempatkan segala sesuatu
pada porsinya yang benar sesuai dengan ajaran Kitab Suci. Merubah
tradisi-tradisi yang tidak manusiawiyang bertentangan dengan hakekat dharma itu
sendiri yang sudah tidak cocok pada saat ini. Bukankah Hindu merupakan Agama
Universal yang sangat fleksibel. Mengikuti perkembangan masa, dimana ada
tradisi atau kegiatan yang tidak bersumber pada Weda bisa di tinggalkan karena
semua itu sama sekali tidak mendatangkan berkah. Hal ini tertuang dalam Manawa
Dharma Sastra XII.95 yang berbunyi :
“Semua
tradisi dan sistem filsafat yang tidak bersumber pada Weda tidak akan memberi
pahala kelak sesudah mati karena dirinya bersumber pada kegelapan”.
Berkaca pada sastra tersebut, maka kita harus lebih membuka diri
menerima berbagai hal baru tanpa langsung meletakkan predikat negatif pada hal
tersebut. Di masyarakat yang multi dimensional / majemuk perbedaan antara
wangsa dengan astra benar-benar nyaris tidak pernah terdengar. Namun apabila
sebuah persoalan walau sekecil apapun apabila dibesar-besarkan jelas akan
menjadi besar. Nama besar yang disandang orangpun menjadi besar, karena orang
lain yang membesar-besarkan. Sehingga orang itu menyandang nama besar. Hal ini
tertuang jelas dalam Mahabharata Anusasana Parwa 104, 105 yang berbunyi :
”Tidak menghina orang lain, tidak mengeluarkan
kata-kata yang tidak menyenangkan orang lain, tidak marah dengan orang lain dan
dengan kelakuan seperti itu orang-orang bisa memperoleh kemajuan spritual”.
Meskipun dikalangan keluarga kehadiran Anak Astra atau Nyame Cerikan di anak tirikan, namun
dikalangan masyarakat pada umumnya mereka tetap diterima dengan baik dan
terbuka. Tidak jarang mereka juga sering didudukan ditengah-tengah masyarakat
pada waktu musyarawah di laksanakan serta saran yang mereka berikan memang
sesuai dengan kebutuhan.
Dalam jajaran pemerintah pun banyak diantara mereka yang
memiliki posisi yang bagus, hal ini disebabkan karena mereka cerdas,
bertanggung jawab, berwawasan luas, dan tentunya bijaksana.
Pernahkan kalian mendengar cerita tentang tokoh-tokoh penting
dari zaman Mahabharata yang memiliki kecerdasan dan kebijaksanaan yang sangat
luar biasa. Tapi apakah kalian tahu kalau diantara mereka terdapat beberapa
Anak
a) Bharata
merupakan leluhur dari Pandawa dan Kaurawa, beliau adalah anak dari Raja
Dusmanta dengan Dewi Sakuntala. Dewi Sakuntala adalah anak dari Bhagawan Kanwa.
Pernikahan antara Prabu Dusmanta dan Dewi Sakuntala tanpa di hadiri oleh
pendeta sebagai sanksinya.
b)
Kemudian, di Kerajaan
Hastinapura ada tiga orang pangeran. Putra tertua bernama Dristarastra, saudara
kedua bernama Pandu, dan anak yang terkecil bernama Widura. Di antara ketiga
orang itu, Widuralah yang paling bijaksana serta beliaulah yang berpegang teguh
pada hukum tata negara. Dia adalah Anak Astra karena lahir dari ramih seorang
pelayan, tetapi meskipun demikian dia selalu memegah teguh kebenaran karena
memiliki dan memahami tentang pengetahuan suci.
c)
Pada masa perang Bharatayuda tentu kita tidak akan pernah lupa tentang
keberanian seorang panglima perang yang gagah yang bernama Karna. Karna adalah
orang yang memegah teguh kata-katanya, dia melaksanakan sikap Satya Mitra
yang memiliki arti selalu setia terhadap sahabat meskipun harus mengorbankan
nyawa. Karna menjadi raja di Kerajaan Anga, dan dia merupakan raja yang sangat
rendah hati memberikan apapun yang dia miliki kepada siapapun yang meminta.
Segala perkataannya selalu dia tepati dalam Hindu ini disebut Satya Wacana.
Tapi tahukan kalian bahwa Karna lahir tanpa seorang ayah.
Demikianlah beberapa orang
yang di katakan Sebagai Anak Astra dengan prestasi yang sangat luar biasa, nama
mereka dicatat dalam sejarah dan selalu dikenang hingga sekarang.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Antara Wangsa dan Astra tidak
dapat dipisahkan, karena tanpa Wangsa maka tidak akan pernah ada Astra. Seperti
apa yang telah alam gariskan bahwa tidak ada sebab yang tanpa akibat. Selain
itu Hindu juga mengenal Karmapala yang berarti hasil dari perbuatan yang kita
lakukan. Sebagai manusia tentu kita sering melakukan kesalahan. Namun bukan
berarti kita tidak mampu memperbaikinya, kesalahan adalah langkah awal yang
perlu kita benahi menuju kebenaran.
Hindu merupakan agama yang
universal serta fleksibel yang mampu menyesuaikan diri dengan keadaan serta
kondisi lingkungan tempat para penganutnya tinggal. Karena hal itulah Hindu
sebagai agama tertua di dunia tetap eksis hingga sekarang.
Tujuan utama Agama Hindu
adalah “Moksartam Jagadhita Ya Ca Iti Dharma”. Untuk mencapai hal itu
maka kita memerlukan ketenangan hati dan kedamaian. Tidak ada saling
merendahkan sesama makhluk.
Seperti halnya Anak Astra,
jangan memberi mereka predikat buruk hanya karena kelakuan kedua orang tua
mereka. Tapi marilah kita membuka mata lebar-lebar untuk menghargai mereka
sebagai sesama manusia, dan contohlah segala perilaku mereka yang baik.
Ikutilah prestasi-prestasi gemilang mereka, serta sikap bijaksana mereka dalam
menjalani hidup. Harus kita ingat bahwa dihadapan Tuhan kita sama, yang
membedakan hanya Karma Wasana kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar