Banten dalam agama Hindu adalah
bahasa agama. Ajaran suci Veda sabda suci Tuhan itu disampaikan kepada umat
dalam berbagai bahasa. Ada yang meggunakan bahasa tulis seperti dalam kitab
Veda Samhita disampaikan dengan bahasa Sanskerta, ada disampaikan dengan bahasa
lisan. Bahasa lisan ini sesuai dengan bahasa tulisnya.
Setelah di Indonesia disampaikan
dengan bahasa Jawa Kuno dan di Bali disampaikan dengan bahasa Bali. Disamping
itu Veda juga disampaikan dengan bahasa Mona. Mona artinya diam namun banyak
mengandung informasi tentang kebenaran Veda dan bahasa Mona itu adalah banten.
Dalam “Lontar Yajña Prakrti” disebutkan:
“sahananing bebanten pinaka
raganta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka anda bhuana”
artinya:
semua jenis banten (upakara)
adalah merupakan simbol diri kita, lambang kemahakuasaan Hyang Widhi dan
sebagai lambang Bhuana Agung (alam semesta).
Banten Pejati Banten pejati
adalah nama Banten atau (upakara), sesajen yang sering dipergunakan sebagai
sarana untuk mempermaklumkan tentang kesungguhan hati akan melaksanakan suatu
upacara, dipersaksikan ke hadapan Hyang Widhi dan prabhavaNya.
Dalam “Lontar Tegesing
Sarwa Banten”, dinyatakan:
“Banten mapiteges pakahyunan,
nga; pakahyunane sane jangkep galang”
Artinya:
Banten itu adalah buah pemikiran
artinya pemikiran yang lengkap dan bersih.
Bila dihayati secara mendalam,
banten merupakan wujud dari pemikiran yang lengkap yang didasari dengan hati
yang tulus dan suci. Mewujudkan banten yang akan dapat disaksikan berwujud
indah, rapi, meriah dan unik mengandung simbol, diawali dari pemikiran yang
bersih, tulus dan suci. Bentuk banten itu mempunyai makna dan nilai yang tinggi
mengandung simbolis filosofis yang mendalam. Banten itu kemudian dipakai untuk
menyampaikan rasa cinta, bhakti dan kasih.
Pejati berasal bahasa Bali, dari
kata “jati” mendapat awalan “pa”. Jati berarti
sungguh-sungguh, benar-benar. Banten pejati adalah sekelompok banten yang
dipakai sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi dan
manifestasiNya, akan melaksanakan suatu upacara dan mohon dipersaksikan, dengan
tujuan agar mendapatkan keselamatan. Banten pejati merupakan banten pokok yang
senantiasa dipergunakan dalam Pañca Yajña.
Adapun unsur-unsur banten pejati,
yaitu:
- Daksina
- Banten Peras,
- Banten Ajuman/Soda
- Ketupat Kelanan
- Penyeneng/Tehenan/Pabuat
- Pesucian Pesucian
- Segehan alit
Sarana yang Lain
- Daun/Plawa; lambang kesejukan.
- Bunga; lambang cetusan perasaan
- Bija; lambang benih-benih kesucian.
- Air; lambang pawitra, amertha
- Api; lambang saksi dan pendetanya Yajna.
Ketupat Kelanan Unsur-unsur yang membentuk ketupat kelanan:
Alasnya tamas/taledan atau ceper,
kemudian diisi buah, pisang dan kue secukupnya, enam buah ketupat,
rerasmen/lauk pauk + 1 butir telor mateng dialasi tri kona/ tangkih/celemik,
sampyan palus/petangas, canang sari. Ketupat Kelanan adalah lambang dari Sad
Ripu yang telah dapat dikendalikan atau teruntai oleh rohani sehingga kebajikan
senantiasa meliputi kehidupan manusia. Dengan terkendalinya Sad Ripu maka
keseimbangan hidup akan meyelimuti manusia.
Siapa yang menerima Banten pejati
?
Banten Pejati dihaturkan kepada
Sanghyang Catur Loka Phala, yaitu
- Peras kepada Sanghyang Isvara
- Daksina kepada Sanghyang Brahma
- Ketupat kelanan kepada Sanghyang Visnu
- Ajuman kepada Sanghyang Mahadeva
Penjelasan Bahan Banten Pejati
Menurut Lontar Tegesing Sarwa Banten;
Mengenai rerasmen: “ Kacang,
nga; ngamedalang pengrasa tunggal, komak, nga; sane kakalih sampun masikian”.
Artinya: Kacang-kacangan menyebabkan perasaan itu menjadi menyatu, kacang komak
yang berbelah dua itu sudah menyatu.
“ Ulam, nga; iwak nga; hebe
nga; rawos sane becik rinengo”. Artinya: Ulam atau ikan yang dipakai
sarana rerasmen itu sebagai lambang bicara yang baik untuk didengarkan.
Mengenai buah-buahan; “ Sarwa
wija, nga; sakalwiring gawe, nga; sana tatiga ngamedalang pangrasa hayu,
ngalangin ring kahuripan”. Artinya: Segala jenis buah-buahan merupakan
hasil segala perbuatan, yaiyu perbuatan yang tiga macam itu (Tri Kaya
Parisudha), menyebabkan perasaan menjadi baik dan dapat memberikan penerangan
pada kehidupan.
Mengenai Kue/Jajan: “ Gina,
nga; wruh, uli abang putih, nga; lyang apadang, nga; patut ning rama rena.
Dodol, nga; pangan, pangening citta satya, Wajik, nga; rasaning sastra, Bantal,
nga; phalaning hana nora, satuh, nga; tempani, tiru-tiruan”. Artinya;
Gina adalah lambang mengetahui, Uli merah dan Uli putih adalah lambang
kegembiraan yang terang, bhakti terhadap guru rupaka/ ayah-ibu, Dodol adalah
lambang pikiran menjadi setia, wajik adalah lambang kesenangan mempelajari
sastra, Bantal adalah lambang dari hasil yang sungguh-sungguh dan tidak, dan
Satuh adalah lambang patut yang ditirukan.
Mengenai bahan porosan: “ Sedah
who, nga; hiking mangde hita wasana, ngaraning matut halyus hasanak, makadang
mitra, kasih kumasih”. Artinya: Sirih dan pinang itu lambang dari yang
membuatnya kesejahteraan/kerahayuan, berawal dari dasar pemikirannya yang baik,
cocok dengan keadaanny, bersaudara dalam keluarga, bertetangga dan berkawan
Demikian kupasan banten Pejati
baik (upakara) maupun kajian filosofisnya, sehingga dengan pemahaman ini dapat
menumbuhkan kesadaran, keyakinan, dan kemantapan umat Hindu dalam membuat dan
menghaturkan Banten Pejati dan melaksanakan ajaran agama Hindu yang penuh
dengan simbol-simbol, sehingga dapat mengikis dogma “Anak Mula Keto”, di masa
yang akan datang.
Berbagai sumber.